Senin, 27 Juli 2009

“Telenovela” Kebangsaan

Oleh Silahudin


Pileg 9 April dan Pilpres 8 Juli 2009, telah usai negara bangsa ini laksanakan. Manuver-manuver politik yang selama kedua peristiwa besar tersebut lakukan, tampaknya, kini dengan telah memiliki Presiden terpilih (baca: terlantik nanti), persoalan kebangsaan Indonesia, atau setumpuk persoalan yang dihadapi negara bangsa ini, secara niscaya patut menjadi focus of interest atau agenda pemerintahan.

Realitas keberadaan kepentingan pragmatis "kedaulatan" kelompok, mau tidak mau, mesti dihindari sebagai "teman sejatinya" dalam penyelenggaraan pemerintahan ini. Akan tetapi, terbangun dalam pergulatan yang lebih luas demi nama negara bangsa ini. Agar, nation building yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan politik negara bangsa ini, tidak berada di persimpangan jalan seperti selama ini. Dikarenakan, terjangkiti virus-virus kepentingan yang sempit.

Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, sebagai "titik balik" ketidaksetujuan anak bangsa ini terhadap pemerintahan otoriter, mesti "menggendong" makna dibalik reformasi tersebut. Bukan sebaliknya, reformasi tersebut seakan-akan telah mati suri, karena misi yang diembannya nyaris tak terdengar lagi dalam tataran empirik kehidupan politik negara bangsa ini.

Lalu, persoalan yang harus senantiasa digerakkan dalam kehidupan negara bangsa ini, adalah merajut kembali nilai-nilai kebangsaan Indonesia, agar nasib sebangsa dan senegara ini dapat terealisasikan dalam bingkai-bingkai pergaulan dan pergumulan kehidupannya.

***

Memang, faham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia kini, nyaris berada pada titik nadir. Seringkali, berbicara nasionalisme, dianggap kurang membumi dengan kondisi yang sudah mengglobal. Padahal di mana pun, setiap negara tidak terhindar dari kebangsaannya. Artinya, nasionalisem merupakan ‘anak sah’ dalam ruang lingkup dialektika kehidupan bernegara dan berbangsa. Ia harus senantiasa melekat dalam koridor dinamika pergumulan dan peradaban bangsanya.

Perlu disadari, tuntutan reformasi (1998), sesungguhnya berada dalam peradaban nasionalisme. Bangkitnya kesadaran lapisan masyarakat menuntut reformasi dalam segenap kehidupan negara bangsa ini, tiada lain “disinari” oleh akumulasi ketidakpuasan atau kekecewaan atas sikap-sikap para penyelenggara negara dan pemerintahan. Kemudian, pertanyaannya, akankah kita mengulang itu? Tentu saja, jawabannya tidak. Oleh karena itu, menata kehidupan politik negara bangsa berada dalam ranah empirik yang kondusif dengan kiblat pembangunannya yang berkeadilan untuk kemakmuran atau kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan.

Dengan demikian, bingkai-bingkai fundamental yang menghiasi faham kebangsaan, baik secara faktual historis maupun kekiniannya, justru harus ditempatkan pada focus of interest kepentingan bagi sebauh negara bangsanya.

Konfigurasi pergulatan secara politik, ekonomi dan sosial budaya, percaturannya tidak bersifat diskriminatif (baca: eksklusif), melaikan inklusif. Dalam arti, teknologi pembangunan dalam pelbagai segmen kehidupannya, patut bahkan niscaya mengeliminir kepentingan kelompok, agar, kesenjangan dalam berbagai dimensi terhindarkan.

Pada tataran itu, pelacakan tatanan politik kebangsaan dengan dimensi pembangunan yang berpijak dan berorientasi kepada pemerataan, atau teknologi pembangunan berwajah keadilan sosial, secara niscaya merupakan agenda reformasi kebangsaan Indonesia. Pemerataan atau pembangunan berwajah keadilan sosial, tidak harus ditakuti, justru secara niscaya menjadi rujukan yang intrinsik dalam menjawab tuntutan reformasi kebangsaan ini.

Hasil-hasil pembangunan bukan memfasilitasi sekelompok kecil, dan rakyat banyak berada dalam wilayah kehidupan yang dikorbankan. Bila pembangunan tersebut, sekadar memenuhi tuntutan sekelompok kecil, maka disadari atau tidak, akibatnya, ketimpangan dan kecemburuan entah itu secara perorangan, kelompok dan teritorial, tak bisa dielakkan, bahkan dapat berakibat lebih jauh, yaituadanya goncangan disintegrasi bangsa dengan berbagai gerakannya.

Dengan demikian, perlu disadari bahwa krisis yang menimpa kita membutuhkan reformasi kebangsaan yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat banyak. Tanpa menyadari kepentingan tersebut, krisis kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara negara dan roda pemerintahan akan senantiasa menjadi bumerangnya.

Hakekat reformasi kebangsaan mesti terus menerus mengikis dinamika kehidupan politik negara bangsa yang diskriminatif, agar eksistensi sebuah negara bangsa ini tidak kehilangan jatidirinya.

Untuk itu, berarti faham kebangsaan Indonesia sesungguhnya nation building yang berada dalam ranah dan sekaligus kehidupan politik yang inklusif. Agar solidaritas sebangsa dan senegara yang merupakan keniscayaan dapat diwujudnyatakan dalam dinamika tataran pergaulan dan pergumulan kehidupan politik negara bangsa ini.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar