Senin, 19 Oktober 2009

Kabinet Koalisi

Oleh Silahudin

PERSOALAN koalisi pasca Pemilu legislatif 9 April 2009, tengah menjadi topik hangat dalam kepolitikan Indonesia dewasa ini. Sehingga sangat relevan kalau kita menyimak ke arah mana kecenderungan-kecenderungan koalisi itu akan dibawa dalam kehidupan politik negara dan bangsanya.

Koalisi dalam fenomena politik kontemporer Indonesia adalah persoalan yang menjadi agenda bersama, karena dalam pemilu 9 April 2009 yang diikuti multi partai, tidak ada partai politik yang mendulang suara secara mayoritas absolut. Masing-masing partai politik tersebut adalah kecenderungan memperoleh suara terbanyak, seperti Partai Demokrat mendulang suara terbanyak di antara partai politik lainnya dari hasil penghitungan.Itulah sebabnya, koalisi menjadi suatu keniscayaan dalam pergumulan kehidupan politik negara bangsa dalam membentuk pemerintahan baru.

Simulasi koalisi yang dilakukan oleh partai politik, tentu saja atas pertimbangan-pertimbangan rasional dalam pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif untuk menjadi yang mayoritas. Dalam arti, partai politik-partai politik yang berkoalisi itu bisa menjadi partai utama dalam membentuk kabinet koalisi untuk menjalankan roda pemerintahan demi mencapai tujuannya. Pada titik simpul ini, ke arah mana koalisi tersebut mengkristal? Itulah yang menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dalam mencermati koalisi belakangan ini.

**

ERA mayoritas tunggal telah berakhir, dan era koalisi mau tidak mau telah menjadi keseyogiaan dalam kepolitikan Indonesia. Artinya, pemilu 9 April 2009 yang diikuti oleh multi partai (38 partai nasional dan 6 partai lokal), dalam realitas perolehan suara dari setiap partai politik, tidak ada satu pun yang mendulang suara secara mayoritas absolut. Hal ini sama pada pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik (PDI Perjuangan yang mendulang suara terbanyak), dan 2004 yang diikuti 24 partai politik (Partai Golkar juga keluar sebagai pemenang suara terbanyak). Kini 2009 yang keluar sebagai pemenang suara terbanyak adalah Partai Demokrat. Artinya, realitas perolehan suara dari setiap partai politik, tidak ada satu partai politik yang mendulang suara secara mayoritas absolut untuk membentuk pemerintahan baru. Sehingga dengan demikian, koalisi tentu saja tidak bisa diabaikan oleh partai politik yang memperoleh suara secara signifikan, agar mampu menjadi partai utama untuk membentuk pemerintahan koalisinya.

Babak baru kepolitikan nasional ini, menjadi tantangan bagi partai politik yang melakukan koalisi untuk menjalankan pemerintahan koalisinya berjalan dengan kondusif atau tidaknya. Era baru kepolitikan Indonesia dengan kabinet koalisinya, tak ayal lagi harus mempunyai arah yang jelas, sehingga koalisi yang dilakukan oleh beberapa partai politik tersebut secara niscaya mempunyai arah dan tujuan yang jelas.

Memang, dalam penghitungan suara hasil pemilu 2009,partai yang memperoleh suara terbanyak dari penghitungan suara akhir adalah Partai Demokrat, namun bukan mayoritas. Sehingga untuk itu, logika politiknya, partai yang memperoleh suara terbanyak itu tentu saja ingin mengantarkan calon yang dielus-elusnya untuk menjadi Presiden. Begitupun yang lainnya, seperti PDI Perjuangan yang mencalonkan Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Itu semua tak bisa mengingkari dalam rangka membentuk pemerintahannya dengan melakukan kalkulasi politik koalisi dengan partai politik yang dianggap mampu kerjasama dalam menjalankan roda pemerintahan dan penyelenggaraan negara.

Koalisi itu adalah untuk membentuk partai utama dalam pemerintahannya dengan mayoritas mutlak. Dengan kata lain, tidak hanya sekadar koalisi dalam memenangkan pemilihan presiden, namun kropos dalam dukungan politik di parlemen.

Memang, proses koalisi tidak begitu saja terjadi, namun beberapa pertimbangan utama pun dalam melakukan koalisi itu diperhatikan. Paling tidak, pertama, kesamaan visi bagi mekanisme penyelenggaraan roda pemerintahan, menjadi identitas koalisi partai politik yang melakukan koalisi mesti dipertahankan. Itulah yang tampak akhir-akhir ini sedang dijajaki oleh masing-masing partai politik dengan melakukan komunikasi politiknya. Sehingga kalau belakangan ini disebut-sebut PDI Perjuangan dengan Partai Gerinda dan Hanura, atau PDI Perjuangan dengan Partai Golkar, Partai Demokrat dengan PKB, PAN dan PKS (kendati PKS belum menunjukkan kesungguhannya), dan partai-partai lainnya, baik yang tidak lolos ke senayan, semuanya akan melakukan koalisi.

Persoalannya, idealisasi koalisi tersebut, untuk mengakomodir secara representatif terhadap kekuatan-kekuatan politik yang riil dalam parlemen, artinya, koalisi permanent yang ditopang di dalam dukungan politik mayoritas, atau sebaliknya, sekadar koalisi “prematur” yang disandarkan pada pemilihan presiden semata?

Kedua, koalisi bisa terjadi, tidak hanya ada dalam dataran ideologi yang sama, namun atas pertimbangan kepentingan jabatan politik pun kerapkali tak bisa diabaikan dalam dunia nyata politik tersebut. Kesamaan visi ideologinya sekadar “tameng” saja, dan tidak menjadi pertimbangan mendasar, karena di dalam logika koalisi sekecil apapun, bargaining politik tak bisa diabaikan, kendati tidak secara terus terang mencuat kepermukaan.

Dengan kata lain, persoalan koalisi adalah persoalan tawar-menawar jabatan politik dari partai politik yang melakukan koalisi untuk menjadi partai utama dalam pemerintahan. Itu sebabnya, power sharing (pembagian kekuasaan) di antara partai politik yang melakukan koalisi tersebut sangat crucial. Distribusi kekuasaan yang seimbang dan adil itulah keharusan yang tak bisa diabaikan dalam kabinet koalisinya, agar koalisi tersebut berjalan dengan “ideal”. Satu sama lainnya tidak saling menjatuhkan karena dasar egoeisme politiknya.

Kecenderungan alasan-alasan seperti itulah, koalisi partai politik sebenarnya untuk membentuk apa yang disebut dengan partai utama dalam membentuk dan sekaligus menjalankan roda pemerintahan yang kondusif. Kendati memang kesamaan visi dan keterbukaan platform-nya merupakan awal menuju koalisi yang benar-benar yang menjadi partai utamanya, sehingga mekanisme pergumulan kehidupan politik negara bangsanya yang dikelola oleh kabinet koalisi tersebut ada dalam konstatasi yang relatif efektif untuk melakukan koordinasi pemerintahan.

**

KEHARUSAN koalisi harus diwujudkan dalam dunia kepolitikan Indonesia sudah tidak bisa dibendung lagi, bahkan kenyataan itu harus niscaya. Ini dikarenakan, pertama, dari hasil penghitungan suara pemilu 9 April 2009, secara definitif cenderung besar tidak ada satu pun partai politik yang mendulang suaranya secara mayoritas mutlak. Kedua, koalisi dipersiapkan oleh mereka partai politik, karena hasil penghitungan suara hasil Pemilu 2009 tersebut, merefleksikan suara pemilih ada pada setiap partai politik. Dengan demikian, dalam kepolitikan Indonesia kekinian, tiada lain atas kecenderungan besar tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh suara secara mayoritas absolut dari hasil pemilu 9 April 2009 untuk membentuk pemerintahannya.

Koalisi itu ada karena adanya kepentingan yang sama dalam jabatan politik tersebut, sehingga dalam hal ini, distribusi kekuasaan yang adil penjadi penting. Namun juga koalisi itu bisa berjalan dengan efektif, bila memang egoisme politik dari partai politik yang melakukan koalisi tersebut disimpan rapih-rapih, dikarenakan yang menjadi sandaran pentingnya bukan kepentingan golongan/kelompoknya, namun kepentingan rakyat banyak dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Memang, karakter dan atau identitas koalisi tidak bisa dipungkiri dalam adanya bagi-bagi jabatan politik. Jabatan-jabatan politik dalam kabinet koalisi itu menjadi pertimbangan yang mendasar. Pertimbangan power sharing atau distribusi kekuasaan yang adil tentu saja tak bisa diingkarinya oleh mereka partai politik yang berkoalisi.

Rangkaian koalisi merupakan awal yang bisa signifikan, bisa pula sebaliknya. Koalisi bisa signifikan, bila pergumulan kehidupan politik negara bangsa berjalan dengan demokratis di mana kesamaan hak dan adanya keadilan berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga percaturan politik nasional berjalan dalam koridor yang inklusif. Itu sebabnya, keadilan dalam perpolitikan adalah menjadi anjakan penilaian yang representatif dan substantif. Begitu pun sebaliknya, koalisi bisa berjalan tidak signifikan, kalau memang koalisi itu mengulang kembali mekanisme politik Indonesia dalam ranah yang mengiris hati rakyat. Dalam arti, tuntutan-tuntutan dan aspirasi rakyat banyak “terjegal” oleh kepentingan koalisi semata, karena semata-mata taktik untuk memeroleh dan mempertahankan kepentingan kekuasaannya.

Memang, membaca ke arah mana koalisi antara partai politik itu cenderung besarnya, nyata kita masih meraba-raba. Namun, tampaknya tak bisa dihindari dari hasil penghitungan suara Pemilu 2009 yang tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh suara secara mayoritas mutlak, kecenderungan arah koalisi pun tidak bisa dipungkiri ada pada garis singgung kepolitikan nasional yang saling vis a vis antara kekuatan pro Partai Demokrat, dan pro kekuatan PDI Perjuangan serta di luar kekuatan tersebut yang masih mencari peluang.

Arah itulah, tak bisa diabaikan dalam babak pemilihan presiden langsung nanti. Oleh karena dengan perhitungan suara hasil pemilu 2009 secara definitif pun tak ayal lagi tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh suaranya secara mayoritas absolut, untuk membentuk pemerintahannya. Dengan demikian, koalisi dengan pembagian jabatan politik yang adil, merupakan konsekuensi politis adanya koalisi tersebut. Namun, titik tolak koalisi partai politik mesti mempunyai relevansinya yang sangat kuat bagi penghidupan representatif rakyat Negara bangsa Indonesia.

Kamis, 01 Oktober 2009

"Telenovela" Kebangsaan

Oleh Silahudin


Pileg 9 April dan Pilpres 8 Juli 2009, telah usai negara bangsa ini laksanakan. Manuver-manuver politik yang selama kedua peristiwa besar tersebut lakukan, tampaknya, kini dengan telah memiliki Presiden terpilih (baca: terlantik nanti), persoalan kebangsaan Indonesia, atau setumpuk persoalan yang dihadapi negara bangsa ini, secara niscaya patut menjadi focus of interest atau agenda pemerintahan.

Realitas keberadaan kepentingan pragmatis "kedaulatan" kelompok, mau tidak mau, mesti dihindari sebagai "teman sejatinya" dalam penyelenggaraan pemerintahan ini. Akan tetapi, terbangun dalam pergulatan yang lebih luas demi nama negara bangsa ini. Agar, nation building yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan politik negara bangsa ini, tidak berada di persimpangan jalan seperti selama ini. Dikarenakan, terjangkiti virus-virus kepentingan yang sempit.

Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, sebagai "titik balik" ketidaksetujuan anak bangsa ini terhadap pemerintahan otoriter, mesti "menggendong" makna dibalik reformasi tersebut. Bukan sebaliknya, reformasi tersebut seakan-akan telah mati suri, karena misi yang diembannya nyaris tak terdengar lagi dalam tataran empirik kehidupan politik negara bangsa ini.

Lalu, persoalan yang harus senantiasa digerakkan dalam kehidupan negara bangsa ini, adalah merajut kembali nilai-nilai kebangsaan Indonesia, agar nasib sebangsa dan senegara ini dapat terealisasikan dalam bingkai-bingkai pergaulan dan pergumulan kehidupannya.

***

Memang, faham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia kini, nyaris berada pada titik nadir. Seringkali, berbicara nasionalisme, dianggap kurang membumi dengan kondisi yang sudah mengglobal. Padahal di mana pun, setiap negara tidak terhindar dari kebangsaannya. Artinya, nasionalisem merupakan ‘anak sah’ dalam ruang lingkup dialektika kehidupan bernegara dan berbangsa. Ia harus senantiasa melekat dalam koridor dinamika pergumulan dan peradaban bangsanya.

Perlu disadari, tuntutan reformasi (1998), sesungguhnya berada dalam peradaban nasionalisme. Bangkitnya kesadaran lapisan masyarakat menuntut reformasi dalam segenap kehidupan negara bangsa ini, tiada lain “disinari” oleh akumulasi ketidakpuasan atau kekecewaan atas sikap-sikap para penyelenggara negara dan pemerintahan. Kemudian, pertanyaannya, akankah kita mengulang itu? Tentu saja, jawabannya tidak. Oleh karena itu, menata kehidupan politik negara bangsa berada dalam ranah empirik yang kondusif dengan kiblat pembangunannya yang berkeadilan untuk kemakmuran atau kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan.

Dengan demikian, bingkai-bingkai fundamental yang menghiasi faham kebangsaan, baik secara faktual historis maupun kekiniannya, justru harus ditempatkan pada focus of interest kepentingan bagi sebauh negara bangsanya.

Konfigurasi pergulatan secara politik, ekonomi dan sosial budaya, percaturannya tidak bersifat diskriminatif (baca: eksklusif), melaikan inklusif. Dalam arti, teknologi pembangunan dalam pelbagai segmen kehidupannya, patut bahkan niscaya mengeliminir kepentingan kelompok, agar, kesenjangan dalam berbagai dimensi terhindarkan.

Pada tataran itu, pelacakan tatanan politik kebangsaan dengan dimensi pembangunan yang berpijak dan berorientasi kepada pemerataan, atau teknologi pembangunan berwajah keadilan sosial, secara niscaya merupakan agenda reformasi kebangsaan Indonesia. Pemerataan atau pembangunan berwajah keadilan sosial, tidak harus ditakuti, justru secara niscaya menjadi rujukan yang intrinsik dalam menjawab tuntutan reformasi kebangsaan ini.

Hasil-hasil pembangunan bukan memfasilitasi sekelompok kecil, dan rakyat banyak berada dalam wilayah kehidupan yang dikorbankan. Bila pembangunan tersebut, sekadar memenuhi tuntutan sekelompok kecil, maka disadari atau tidak, akibatnya, ketimpangan dan kecemburuan entah itu secara perorangan, kelompok dan teritorial, tak bisa dielakkan, bahkan dapat berakibat lebih jauh, yaituadanya goncangan disintegrasi bangsa dengan berbagai gerakannya.

Dengan demikian, perlu disadari bahwa krisis yang menimpa kita membutuhkan reformasi kebangsaan yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat banyak. Tanpa menyadari kepentingan tersebut, krisis kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara negara dan roda pemerintahan akan senantiasa menjadi bumerangnya.

Hakekat reformasi kebangsaan mesti terus menerus mengikis dinamika kehidupan politik negara bangsa yang diskriminatif, agar eksistensi sebuah negara bangsa ini tidak kehilangan jatidirinya.

Untuk itu, berarti faham kebangsaan Indonesia sesungguhnya nation building yang berada dalam ranah dan sekaligus kehidupan politik yang inklusif. Agar solidaritas sebangsa dan senegara yang merupakan keniscayaan dapat diwujudnyatakan dalam dinamika tataran pergaulan dan pergumulan kehidupan politik negara bangsa ini.**

Meraup Penghasilan via internet