Kamis, 30 Juli 2009

Polling

1. Bagaimana pendapat anda tentang Pileg (pemilu legislatif) 9 April 2009?
a. Sangat Memuaskan
b. Memuaskan
c. Tidak Memuaskan

2. Beri komentar atas jawaban anda?

3. Bagaimana pendapat anda tentang Pilpres (pemilihan presiden) langsung 8 Juli 2009?
a. Sangat Memuaskan
b. Memuaskan
c. Tidak Memuaskan

4. Beri komentar atas jawaban anda?

Rabu, 29 Juli 2009

ABSTRAK TESIS

Silahudin

ABSTRAK

Partisipasi Politik Rakyat Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus Pemilih Tidak Menggunakan Hak Pilih Pada Pilkada Langsung Kabupaten Bandung)


Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Langsung, sebagai amanat konstitusi, pertama kali dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005 di beberapa Daerah Indonesia. Kabupaten Bandung pada tanggal 22 Oktober 2005 dengan jumlah pemilih terdaftar sebanyak 2.781.320 menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Langsung pertama setelah beberapa daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun yang sama.

Seiring dengan domain pilkada yang tidak lagi diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun langsung dipilih oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dalam realitas fakta sosialnya tidak berbanding lurus dengan tingginya partisipasi politik rakyat. Partisipasi politik rakyat pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung yang menggunakan hak pilih dengan suara sah sebesar 1.788.001 (64,29%), suara tidak sah sebesar 118.057 (4,24%) dan yang tidak menggunakan hak pilihnya (pemberian suara) sebesar 875.262 (31,47%) dari jumlah pemilih terdaftar. Kabupaten Bandung menjadi pertimbangan penelitian partisipasi politik rakyat dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung, yang dikhususkan kepada pemilih terdaftar namun tidak menggunakan hak pilihnya, karena belum ada penelitian hasil penyelenggaraan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung dengan focus of interest pada ketidakterlibatan rakyat dalam menggunakan hak pilihnya.

Dengan memotret pemilih yang tidak menggunakan hak pilih tersebut, dengan pertimbangan aspek teoritis, metodologis dan empiris, maka hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lapisan masyarakat menarik diri dari peristiwa penting proses politik pilkada langsung karena alasan pragmatis, yaitu bekerja di pabrik, karena pabrik tidak meliburkan; semata-mata kepentingan kepraktisan, karena pilkada dianggap buang-buang waktu; dan tidak dapat dirasakan langsung oleh pemilih. Sedangkan alasan politis, yaitu merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi (seperti partai politik, parlemen dan pemerintah), karena tidak akan merubah keadaan hidup lebih baik, sehingga pilihan terbaik tidak memberikan suara pada pemilihan tersebut sebagai bagian dari tindakan “penghukuman” pemilih terhadap kinerja partai politik, parlemen dan pemerintah.

Namun, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya tidak menjadi pembiaran politik semua pemangku kepentingan, justru harus mencari solusi dengan memberi keyakinan “garansi-garansi” politik dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.


ABSTRACT

Pollitical Participation of People in Direct Elections of Both Head and Deputy of Local Governments (Pilkada) (A Study Case Voters Who Didn’t Use Their Right of Vote at Direct Elections of Both Head and Deputy of Local Governments Bandung Regency (Kabupaten Bandung)

Direct elections of both head and deputy of local governments (Pilkada), as Constitution mandates, were firstly conducted in Juni 2005 in several localities in Indonesia. On 22nd October 2005, Bandung Regency, with total registered voters of 2,781,320, conducted its first direct elections of Regent and Deputy Regent following some regencies/municipalities in West Java Province in the same year.

The swift of the domain of Pilkada from Local Parliament (DPRD) to people as the holder of sovereignty is actually not in proportional with the people’s political participation level. The people’s political participation in the elections of the regent and deputy regent of Bandung Regency was as follows: 1,788,001 (64,29%) valid votes, 118,057 (4,24%) invalid votes, and 875,262 (31,47%) not voting. Bandung Regency become a consideration of a research on people’s political participation in the direct elections of regent and deputy regent, particularly on those registered voters who didn’t vote, because there has been no research on the results of elections of regent and deputy regent of Bandung Regency with a focus of interest on the involvement of people in using their right of vote.

Portraying those voters who didn’t use their right of vote, by considering theoretical, methodological, and empirical aspects, the research results showed that community layers withdrew from the crucial, direct Pilkada political process event for a pragmatic reason, that is, working at plants that provide no vacancy; due to practical interest, the Pilkada being considered as wasting time; and the voter felt no direct effect of the Pilkada. Meanwhile, the political reasons were that the decline of confidence of public on democratic institutions (such as political parties, parliament, and government) it would not make a difference on their life, so that the best choice was not to vote in the elections as part of “punishment” action of the voters on the performances of political parties, parliament, and government.

However, those voters who didn’t use their right of vote should not leave every political affair to the interest holders, instead they should seek solutions by providing political “guarantees” confidences in promoting community prosperity.

Senin, 27 Juli 2009

“Telenovela” Kebangsaan

Oleh Silahudin


Pileg 9 April dan Pilpres 8 Juli 2009, telah usai negara bangsa ini laksanakan. Manuver-manuver politik yang selama kedua peristiwa besar tersebut lakukan, tampaknya, kini dengan telah memiliki Presiden terpilih (baca: terlantik nanti), persoalan kebangsaan Indonesia, atau setumpuk persoalan yang dihadapi negara bangsa ini, secara niscaya patut menjadi focus of interest atau agenda pemerintahan.

Realitas keberadaan kepentingan pragmatis "kedaulatan" kelompok, mau tidak mau, mesti dihindari sebagai "teman sejatinya" dalam penyelenggaraan pemerintahan ini. Akan tetapi, terbangun dalam pergulatan yang lebih luas demi nama negara bangsa ini. Agar, nation building yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan politik negara bangsa ini, tidak berada di persimpangan jalan seperti selama ini. Dikarenakan, terjangkiti virus-virus kepentingan yang sempit.

Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, sebagai "titik balik" ketidaksetujuan anak bangsa ini terhadap pemerintahan otoriter, mesti "menggendong" makna dibalik reformasi tersebut. Bukan sebaliknya, reformasi tersebut seakan-akan telah mati suri, karena misi yang diembannya nyaris tak terdengar lagi dalam tataran empirik kehidupan politik negara bangsa ini.

Lalu, persoalan yang harus senantiasa digerakkan dalam kehidupan negara bangsa ini, adalah merajut kembali nilai-nilai kebangsaan Indonesia, agar nasib sebangsa dan senegara ini dapat terealisasikan dalam bingkai-bingkai pergaulan dan pergumulan kehidupannya.

***

Memang, faham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia kini, nyaris berada pada titik nadir. Seringkali, berbicara nasionalisme, dianggap kurang membumi dengan kondisi yang sudah mengglobal. Padahal di mana pun, setiap negara tidak terhindar dari kebangsaannya. Artinya, nasionalisem merupakan ‘anak sah’ dalam ruang lingkup dialektika kehidupan bernegara dan berbangsa. Ia harus senantiasa melekat dalam koridor dinamika pergumulan dan peradaban bangsanya.

Perlu disadari, tuntutan reformasi (1998), sesungguhnya berada dalam peradaban nasionalisme. Bangkitnya kesadaran lapisan masyarakat menuntut reformasi dalam segenap kehidupan negara bangsa ini, tiada lain “disinari” oleh akumulasi ketidakpuasan atau kekecewaan atas sikap-sikap para penyelenggara negara dan pemerintahan. Kemudian, pertanyaannya, akankah kita mengulang itu? Tentu saja, jawabannya tidak. Oleh karena itu, menata kehidupan politik negara bangsa berada dalam ranah empirik yang kondusif dengan kiblat pembangunannya yang berkeadilan untuk kemakmuran atau kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan.

Dengan demikian, bingkai-bingkai fundamental yang menghiasi faham kebangsaan, baik secara faktual historis maupun kekiniannya, justru harus ditempatkan pada focus of interest kepentingan bagi sebauh negara bangsanya.

Konfigurasi pergulatan secara politik, ekonomi dan sosial budaya, percaturannya tidak bersifat diskriminatif (baca: eksklusif), melaikan inklusif. Dalam arti, teknologi pembangunan dalam pelbagai segmen kehidupannya, patut bahkan niscaya mengeliminir kepentingan kelompok, agar, kesenjangan dalam berbagai dimensi terhindarkan.

Pada tataran itu, pelacakan tatanan politik kebangsaan dengan dimensi pembangunan yang berpijak dan berorientasi kepada pemerataan, atau teknologi pembangunan berwajah keadilan sosial, secara niscaya merupakan agenda reformasi kebangsaan Indonesia. Pemerataan atau pembangunan berwajah keadilan sosial, tidak harus ditakuti, justru secara niscaya menjadi rujukan yang intrinsik dalam menjawab tuntutan reformasi kebangsaan ini.

Hasil-hasil pembangunan bukan memfasilitasi sekelompok kecil, dan rakyat banyak berada dalam wilayah kehidupan yang dikorbankan. Bila pembangunan tersebut, sekadar memenuhi tuntutan sekelompok kecil, maka disadari atau tidak, akibatnya, ketimpangan dan kecemburuan entah itu secara perorangan, kelompok dan teritorial, tak bisa dielakkan, bahkan dapat berakibat lebih jauh, yaituadanya goncangan disintegrasi bangsa dengan berbagai gerakannya.

Dengan demikian, perlu disadari bahwa krisis yang menimpa kita membutuhkan reformasi kebangsaan yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat banyak. Tanpa menyadari kepentingan tersebut, krisis kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara negara dan roda pemerintahan akan senantiasa menjadi bumerangnya.

Hakekat reformasi kebangsaan mesti terus menerus mengikis dinamika kehidupan politik negara bangsa yang diskriminatif, agar eksistensi sebuah negara bangsa ini tidak kehilangan jatidirinya.

Untuk itu, berarti faham kebangsaan Indonesia sesungguhnya nation building yang berada dalam ranah dan sekaligus kehidupan politik yang inklusif. Agar solidaritas sebangsa dan senegara yang merupakan keniscayaan dapat diwujudnyatakan dalam dinamika tataran pergaulan dan pergumulan kehidupan politik negara bangsa ini.**

Rabu, 01 Juli 2009

Melayani Hak Politik Rakyat

Oleh Silahudin

PEMILIHAN UMUM (Pemilu) merupakan instrumen untuk membentuk demokrasi perwakilan dan perwujudan pergantian pemerintahan secara berkala dengan damai. Pemilu 2009, diikuti oleh multipartai partai politik sebagai pesertanya untuk memilih anggota DPR, dan DPRD (Provinsi dan kabupaten/kota) serta DPD sebagai peserta perseorangan, dan juga presiden secara langsung

Partai politik sebagai aktor utama yang berkompetisi untuk memperoleh dukungan massa dan meraih kekuasaan baik di legislatif maupun di eksekutif dengan mencalokan kader-kadernya. Begitupun untuk calon perseorangan, mereka pun bertarung untuk mendapatkan simpatik dan dukungan rakyat untuk menduduki lembaga legislatif sebagai perwakilan daerahnya. Tentu saja dalam proses kompetisi tersebut, mesti demokratis. Demokratis bila memang proses dan hasilnya berlangsung secara kompetitif, bebas, adil, terbuka, dan sekaligus damai. Pemilu, sesungguhnya dalam paham negara demokrasi merupakan peristiwa yang biasa, karena merupakan proses pergantian kekuasaan secara berkala, kendati dalam setiap penyelenggaraannya, ada titik perbedaan dari pemilu ke pemilu.

Dalam merealisasikan tujuan negara tentu saja adanya pergantian dan pembagian kekuasaan secara sah. Konstitusi kita, telah membentuk negara dengan faham demokrasi, setidaknya dengan bentuk formal pembagian pelaksanaan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga negara dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan/pemerintahan negara. Penyelenggaraan kekuasaan/pemerintahan negara dibagi ke dalam enam kekuasan, yaitu:
1. Kekuasaan Konstitutif (MPR), yaitu menetapkan dan mengubah konstitusi atau UUD Negara;
2.  Kekuasaan eksekutif (Presiden), yaitu menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara;
3. Kekuasaan legislatif (DPR), yaitu membentuk Undang-undang. Selain dari itu, khusus dalam hal menyusun peraturan perundangan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, DPR perlu melibatkan dan memperhatikan usulan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
4. Kekuasaan yudikatif (MA dan Badan Peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi), menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
5.Kekuasaan auditif (Badan Pemeriksa Keuangan), menyelenggarakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri.
6.Kekuasaan Moneter/Otoritas Moneter (Bank Sentral Republik Indonesia/BI), menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta memelihara kestabilan nilai rupiah.

Sistem politik demokrasis diyakini merupakan sebuah model yang akan mampu membawa ke arah kehidupan lebih baik, di mana akan mampu melindungi seluruh kepentingan warga negara kebanyakan dan memberikan batasan kekuasaan terhadap mereka yang memegang kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itu, salah satu tonggak utama untuk menjalankan sistem politik yang demokratis, adanya lembaga pemilihan umum. Dengan kehidupan politik yang demokratis, berarti pemerintahan Negara bangsa ini tidak lagi ditentukan oleh satu orang atau sekelompok orang (oligarkhi), melainkan semua orang untuk mencapai tujuan Negara. Karena inti demokrasi seperti yang popular dirumuskan oleh Abraham Lincoln, “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

**

PEMILU, merupakan tonggak dari sistem politik demokratis, karena dengan pemilu berarti rakyat berpartisipasi secara aktif untuk membentuk, mendukung bahkan mengganti pemerintahnya dalam merealisasikan tujuan bernegara dan berbangsa. Secara konseptual memang dikenal dua macam demokrasi, yaitu demokrasi normatif dan demokrasi empirik.
Demokrasi normatif, biasanya berkait dengan hal-hal yang secara idiil hendak dicapai atau dilakukan dalam penyelenggaraan negara. Konsep demokrasi normatif bagi negara Indonesia dapat dicermati pada Pembukaan UUD 45, yaitu alenia keempat “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial…”. ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 ayat (2). Dan dalam Pasal 28 ”Kemerdekaan berserikan dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagianya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Pasal-Pasal 28A hingga Pasal 28J sekitar hak asasi mausia, juga pasal 29 ayat (2) ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamaya dan kepercayaannya itu”.
Konstitusi Negara Indonesia disadari atau tidak telah memperlihatkan bentuk negara yang berfahamkan demokrasi, karena secara bentuk formal bentuk pembagian kekuasaan secara horizontal sebagai ”amanat” demokrasi, telah eksis dalam kenegaraan ini, yaitu lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemetaan atau pengaturan kelembagaan tersebut untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu melalui persaingan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan.
Pelembagaan politik tersebut, dijelmakan dalam hubungan-hubungan antara penguasa dengan rakyat. Dengan kata lain, bercirikan partisipasi politik warga negara yang melembaga, sistem politik yang ada, adanya konsensus politik, adanya check and balance power (keseimbangan kekuasaan) di antara lembaga-lembaga politik untuk saling mengawasi. Prinsip-prinsip utama dalam demokrasi adanya pembagian kekuasaan secara horizontal, yaitu berdasarkan fungsinya maisng-masing.
Dalam konteks itu, berarti pemilu sebagai pelaksanaan demokrasi prosedural, memberi ruang gerak yang signifikan kepada rakyat untuk ikutserta dalam menentukan calon-calon pemimpin yang dilakukan secara teratur dan kompetisi secara fair memperebutkan atau mengisi jabatan politik.
Dengan demikian, baik secara procedural maupun substantif, setidaknya kriteria demokrasi sebagaimana dijelaskan Mary Kaldor dan Ivan Veivoda (1997:63) berikut ini:
1.   Inclusive citizenship, yang mendasarkan ketidakbolehan menolak keterlibatan warga yang disebabkan oleh alasan ras, etnisitas atau gender.
2. Role of low, yang mendasarkan pemerintahan dibentuk secara legal dan menjadikan cabang-cabang pemerintahan harus menghormati hukum, dimana kelompok minoritas harus dilindungi oleh mayoritas.
3.  Separation of power, dimana cabang pemerintah yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan yudikatif harus saling terpisah, dimana peradilan independen tetap menjunjung tinggi konstitusi.
4. Elected power-holders, pemegang kekuasaan, terutama anggota badan legislatif yang berfungsi mengendalikan eksekutif harus dipilih melalui pemilihan umum.
5. Free and fair election, pemilu untuk memilih pemegang kekuasaan harus dilaksanakan secara jujur dan adil, dimana pemaksanaan tidak terjadi dan semua orang dewasa berhak untuk memilih dan dipilih.
6. Freedom of expression and alternative sources of information, dimana warga memiliki hak untuk mengunkapkan pendapat mengenai isyu politik secara bebas tanpa rasa takut akan adanya ancaman dari pihak lain. Selain itu warga juga berhak untuk memperoleh sumber informasi alternatif, karena itu, sumber informasi alternatif harus ada dan dilindungi oleh hukum.
7. Association autonomy, warga juga berhak untuk membentuk perkumpulan dan organisasi independen, termasuk di dalamnya partai politik dan kelompok kepentingan.
8. Civilian control over the security forces, tentara dan polisi secara politis bersifat netral dan bebas dari tekanan politik, serta di bawah kendali wewenang sipil. Dengan demikian, pemilu sesungguhnya peristiwa yang biasa dalam perwujudan kedaulatan rakyat, sarana mewujudkan demokrasi, dan kesempatan melakukan pergantian atau suksesi kepemimpinan nasional secaras berkala.

Sehingga dalam pemaknaan demokrasi perwakilan paling tidak ada dua hal yang tercermin dalam proses tersebut, yaitu: dimana rakyat menentukan pilihan wakilnya yang akan duduk di parlemen sebagai hak politik rakyat (baca: kedaulatan rakyat) dan anggota parlemen adalah sebagai cerminan rakyat yang mempunyai tugas dan fungsi di antaranya mengawasi jalannya roda pemerintahan.

Dalam berdemokrasi, tentu saja tidak bisa diingkari adanya keteraturan politik demokrasi (democratic political order) sebagai kerangka acuan atau referensi untuk mengamati ada tidaknya demokrasi direalisasikan dalam kehidupan politik negara bangsa. Itu sebabnya, demokrasi politik bertujuan bukan politik sebagai politik semata, melainkan politik sebagai ”alat” untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Dengan kata lain, demokrasi politik adalah kepentingan bersama yang berfungsi sebagai kendaraan yang akan mengantarkan seluruh lapisan masyarakat mencapai tujuan yang lebih agung. Jadi, konsep perwakilan sebagai perwujudan nyata dalam demokrasi modern, ditempatkan pada posisi yang strategis dalam membawa arah kehidupan politik negara bangsa Indonesia. Jelas Riswanda (1993: 76) ”Perwakilan adalah satu konsep yang menunjukkan hubungan antara dua orang atau lebih, yakni antara wakil dengan pihak yang diwakili (terwakili), di mana wakil mempunyai sejumlah wewenang yang diperolehnya melalui kesepakatan dengan pihak yang diwakilinya.”

Pemilu merupakan sarana yang paling demokratis untuk membentuk representative government, agar rakyat dapat menentukan siapa yang memerintah dan apa yang dikehendaki rakyat untuk dilakukan pemerintah. Atau dalam bahasa lain, pemilu merupakan serangkaian kegiatan politik untuk menampung aspirasi kepentingan masyarakat, yang selanjutnya diformulasikan dalam bentuk kebijakan (policy), dan untuk menentukan siapa di antara warga negara yang akan menjalankan kebijakan tersebut.

Salah satu produk pemilihan umum adalah Dewan Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah, yang salah satu tugas pekerjaannya merumuskan dan menggodok apa saja yang menjadi kehendak rakyat. Seiring dengan itu, pemilu 2009 adalah bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat akan duduk di parlemen, baik pada level nasional maupun daerah, dan DPD sebagai representatif daerah, serta pemilihan presiden. DPR dan DPD sebagai lembaga yang strategis dalam konstelasi kepolitikan dan sistem ketatanegaraan Indonesia, yang anggota-anggotanya dewasa ini dipilih langsung oleh rakyat, sesungguhnya tidak bisa ditepiskan dari segenap penyelenggaraan pemilihan umum.

Dalam bahasa lain, salah satu yang menonjol dari perkembangan politik adalah penyelenggaraan dari pemilu ke pemilu berikutnya sebagai kehendak untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan kualitas penyelenggaraannya. Keinginan untuk merealisasikan suatu penyelenggaraan pemilu yang berkualitas secara formal dapat dilihat atau dicermati dari kerangka peraturan perundang-undangan yang ada. Di samping itu, sistem pemilu pun akan memberikan warna tersendiri terhadap kualitas dan perilaku politik anggota lembaga perwakilan rakyat.

Itu sebabnya, sistem pemilu memiliki hubungan yang melekat dengan lembaga perwakilan. Para anggota dewan tersebut sangat dipengaruhi pula oleh aturan main yang berlaku. Regulasi tentang pemilu ini dianggap memiliki kedudukan instrumental strategik, karena berpengaruh terhadap perilaku politik anggota dewan.

Berkaitan dengan implementasi Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota, merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari tujuan negara. Implementasi pemilu sebagai bentuk prosedural demokrasi, secara ensensial bukan semata-mata berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan implementasi pemilu an sich, melainkan sejauhmana para anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota terpilih mampu berkinerja secara memadai dan berkontribusi secara signifikan terhadap tujuan negara.

**

REALITAS yang integral tidak bisa diabaikan adalah elemen-elemen yang mendukung penyelenggaraan pemilu berjalan demokratis. Elemen-elemen tersebut seperti dijelaskan David E. Apter (1987) adalah:
1. Kebebasan pers untuk meliput pemilu secara netral;
2. Kebebasan masyarakat untuk mendirikan partai politik baru yang bebas “restu” dari pemerintah;
3. Kebebasan masyarakat untuk memantau proses pemilihan umum;
4. Kebebasan pegawai negeri sipil untuk tidak harus mendukung dan memilih salah satu partai politik;
5.Pendirian posisi netral dari aparatur negera terhadap masing-masing peserta pemilu;
6. Kebebasan tekanan negara terhadap peserta pemilu; dan
7. Kebebasan tekanan negara terhadap pemlih agar memilih atau tidak memilih salah satu peserta pemilu.

Pemilu merupakan tempat bersaing partai-partai politik secara teratur berdasarkan aturan main yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa ada aturan yang jelas dan tegas, sesungguhnya partai-partai politik tidak dapat bersaing dengan ”sehat”.

Itu sebabnya, sistem pemilu yang ditentukan akan memberikan warna atau membingkai kepolitikan dalam kepartaian untuk bersaing, sehingga rakyat dengan jelas memiliki alasan yang signfikan memberikan suaranya kepada calon-calon wakil rakyat yang difasilitasi oleh partai politik.

Mengingat hal tersebut, maka sistem pemilu anggota lembaga perwakilan harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi. Prinsip tersebut, dalam Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota memiliki keterkaitan dengan kualitas dan kuantitas kebijakan publik yang akan ditetapkan sebagai perwujudan tujuan negara.**

Ditulis, 14 Maret 2009

Pemimpin Yang Baik

Pemimpin yang baik terbentuk oleh tiga sikap:
1. sikap baik (nice)
2. kuat (strong)
3. benar (right)
Yu kita renungi dalam pilpres 2009 ini, siapakah yang ada dalam ketiga pemimpin yang baik itu untuk tiga pasangan capres-cawapres.
setidaknya dalam menentukan pilihan kita pada 8 juli 2009, karena nasib negara bangsa ini bukan ditentukan oleh politik iming-iming seperti BLT, Gaji 13, puluhan ribu rupiah dan sejenisnya. artinya, kita memilih atas kesadaran yang datang dari diri kita, bukan ditukar oleh politik iming-iming tadi.
Nasib negara bangsa lima tahun ke depan tidak bisa ditukar dengan politik iming-iming.