PERSOALAN koalisi pasca Pemilu legislatif 9 April 2009, tengah menjadi topik hangat dalam kepolitikan Indonesia dewasa ini. Sehingga sangat relevan kalau kita menyimak ke arah mana kecenderungan-kecenderungan koalisi itu akan dibawa dalam kehidupan politik negara dan bangsanya.
Tampaknya koalisi dalam fenomena politik kontemporer Indonesia adalah persoalan yang menjadi agenda bersama, karena dalam pemilu 9 April 2009 yang diikuti multi partai, tidak ada partai politik yang mendulang suara secara mayoritas absolut. Yang ada dari masing-masing partai politik tersebut adalah kecenderungan memperoleh suara terbanyak, seperti Partai Demokrat mendulang suara terbanyak di antara partai politik lainnya dari hasil penghitungan sementara (hingga kini, 20/4). Itulah sebabnya, koalisi menjadi suatu keniscayaan dalam pergumulan kehidupan politik negara bangsa dalam membentuk pemerintahan baru.
Simulasi koalisi yang dilakukan oleh partai politik, tentu saja atas pertimbangan-pertimbangan rasional dalam pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif untuk menjadi yang mayoritas. Dalam arti, partai politik-partai politik yang berkoalisi itu bisa menjadi partai utama dalam membentuk kabinet koalisi untuk menjalankan roda pemerintahan demi mencapai tujuannya. Pada titik simpul ini, ke arah mana koalisi tersebut mengkristal? Itulah yang menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dalam mencermati koalisi belakangan ini.
**
ERA mayoritas tunggal telah berakhir, dan era koalisi mau tidak mau telah menjadi keseyogiaan dalam kepolitikan
Babak baru kepolitikan nasional ini, menjadi tantangan bagi partai politik yang melakukan koalisi untuk menjalankan pemerintahan koalisinya berjalan dengan kondusif atau tidaknya. Era baru kepolitikan
Memang, dalam penghitungan suara hasil pemilu 2009 ini belum definitif hingga kini (24/4), namun partai yang memperoleh suara terbanyak dari penghitungan suara sementara adalah Partai Demokrat, namun bukan mayoritas. Sehingga untuk itu, logika politiknya, partai yang memperoleh suara terbanyak itu tentu saja ingin mengantarkan calon yang dielus-elusnya untuk menjadi Presiden. Begitupun yang lainnya, seperti PDI Perjuangan yang mencalonkan Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Itu semua tak bisa mengingkari dalam rangka membentuk pemerintahannya dengan melakukan kalkulasi politik koalisi dengan partai politik yang dianggap mampu kerjasama dalam menjalankan roda pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Koalisi itu adalah untuk membentuk partai utama dalam pemerintahannya dengan mayoritas mutlak. Dengan kata lain, tidak hanya sekadar koalisi dalam memenangkan pemilihan presiden, namun kropos dalam dukungan politik di parlemen.
Memang, proses koalisi tidak begitu saja terjadi, namun beberapa pertimbangan utama pun dalam melakukan koalisi itu diperhatikan. Paling tidak, pertama, kesamaan visi bagi mekanisme penyelenggaraan roda pemerintahan, menjadi identitas koalisi partai politik yang melakukan koalisi mesti dipertahankan. Itulah yang tampak akhir-akhir ini sedang dijajaki oleh masing-masing partai politik dengan melakukan komunikasi politiknya Sehingga kalau belakangan ini disebut-sebut PDI Perjuangan dengan Partai Gerinda dan Hanura, atau PDI Perjuangan dengan Partai Golkar, Partai Demokrat dengan PKB, PAN dan PKS (kendati PKS belum menunjukkan kesungguhannya), dan partai-partai lainnya, baik yang tidak lolos ke senayan, semuanya akan melakukan koalisi.
Persoalannya, idealisasi koalisi tersebut, untuk mengakomodir secara representatif terhadap kekuatan-kekuatan politik yang riil dalam parlemen, artinya, koalisi permanent yang ditopang di dalam dukungan politik mayoritas, atau sebaliknya, sekadar koalisi “prematur” yang disandarkan pada pemilihan presiden semata?
Kedua, koalisi bisa terjadi, tidak hanya ada dalam dataran ideologi yang sama, namun atas pertimbangan kepentingan jabatan politik pun kerapkali tak bisa diabaikan dalam dunia nyata politik tersebut. Kesamaan visi ideologinya sekadar “tameng” saja, dan tidak menjadi pertimbangan mendasar, karena di dalam logika koalisi sekecil apapun, bargaining politik tak bisa diabaikan, kendati tidak secara terus terang mencuat kepermukaan.
Dengan kata lain, persoalan koalisi adalah persoalan tawar-menawar jabatan politik dari partai politik yang melakukan koalisi untuk menjadi partai utama dalam pemerintahan. Itu sebabnya, power sharing (pembagian kekuasaan) di antara partai politik yang melakukan koalisi tersebut sangat crucial. Distribusi kekuasaan yang seimbang dan adil itulah keharusan yang tak bisa diabaikan dalam kabinet koalisinya, agar koalisi tersebut berjalan dengan “ideal”. Satu sama lainnya tidak saling menjatuhkan karena dasar egoeisme politiknya.
Kecenderungan alasan-alasan seperti itulah, koalisi partai politik sebenarnya untuk membentuk apa yang disebut dengan partai utama dalam membentuk dan sekaligus menjalankan roda pemerintahan yang kondusif. Kendati memang kesamaan visi dan keterbukaan platform-nya merupakan awal menuju koalisi yang benar-benar yang menjadi partai utamanya, sehingga mekanisme pergumulan kehidupan politik negara bangsanya yang dikelola oleh kabinet koalisi tersebut ada dalam konstatasi yang relatif efektif untuk melakukan koordinasi pemerintahan.
**
KEHARUSAN koalisi harus diwujudkan dalam dunia kepolitikan
Koalisi itu ada karena adanya kepentingan yang sama dalam jabatan politik tersebut, sehingga dalam hal ini, distribusi kekuasaan yang adil penjadi penting. Namun juga koalisi itu bisa berjalan dengan efektif, bila memang egoisme politik dari partai politik yang melakukan koalisi tersebut disimpan rapih-rapih, dikarenakan yang menjadi sandaran pentingnya bukan kepentingan golongan/kelompoknya, namun kepentingan rakyat banyak dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Memang, karakter dan atau identitas koalisi tidak bisa dipungkiri dalam adanya bagi-bagi jabatan politik. Jabatan-jabatan politik dalam kabinet koalisi itu menjadi pertimbangan yang mendasar. Pertimbangan power sharing atau distribusi kekuasaan yang adil tentu saja tak bisa diingkarinya oleh mereka partai politik yang berkoalisi.
Rangkaian koalisi merupakan awal yang bisa signifikan, bisa pula sebaliknya. Koalisi bisa signifikan, bila pergumulan kehidupan politik negara bangsa berjalan dengan demokratis di mana kesamaan hak dan adanya keadilan berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga percaturan politik nasional berjalan dalam koridor yang inklusif. Itu sebabnya, keadilan dalam perpolitikan adalah menjadi anjakan penilaian yang representatif dan substantif. Begitu pun sebaliknya, koalisi bisa berjalan tidak signifikan, kalau memang koalisi itu mengulang kembali mekanisme politik
Memang, membaca ke arah mana koalisi antara partai politik itu cenderung besarnya, nyata kita masih meraba-raba. Namun, tampaknya tak bisa dihindari dari hasil penghitungan suara Pemilu 2009 yang tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh suara secara mayoritas mutlak, kecenderungan arah koalisi pun tidak bisa dipungkiri ada pada garis singgung kepolitikan nasional yang saling vis a vis antara kekuatan pro Partai Demokrat, dan pro kekuatan PDI Perjuangan serta di luar kekuatan tersebut yang masih mencari peluang.
Arah itulah, tak bisa diabaikan dalam babak pemilihan presiden langsung nanti. Oleh karena dengan perhitungan suara hasil pemilu 2009 secara definitif pun tak ayal lagi tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh suaranya secara mayoritas absolut, untuk membentuk pemerintahannya. Dengan demikian, koalisi dengan pembagian jabatan politik yang adil, merupakan konsekuensi politis adanya koalisi tersebut. Namun, titik tolak koalisi partai politik mesti mempunyai relevansinya yang sangat kuat bagi penghidupan representatif rakyat Negara bangsa
Tak ada koalisi yang tanpa paamrih.semua pamrih kekuasaan.
BalasHapus