Rabu, 20 Mei 2009

Persaingan Kekuasaan

Oleh Silahudin
PERGUMULAN kehidupan politik pasca pemilu legislatif 9 April 2009, temperaturnya semakin panas. Manuver-manuver politik yang ditontonkan elit politik justru mewarnai pangugng politik nasional. Soal suksesi kepemimpinan nasional dengan penjajagan kalkulasi koalisi terus hilir mudik hingga kini (30/4). Apakah bernama koalisi besar atau koalisi taktis sekadar memenangkan kepemimpinan nasional. Itulah yang terbersit dalam logika politik para elit politik di negeri ini dengan tingkah polah prilaku politiknya.
Kenyataan yang harus diakui, bahwa rakyat yang menentukan mereka para elit menjadi pejabat publik, tampak tak tersentuh dalam “simulasi” koalisi kekuasaan. Mereka asik dengan ranah yang tengah digelutinya, yaitu berjuang untuk memperoleh kekuasaan. Retorika politik yang datang dari para elit politik dan juga dari kalangan tokoh masyarakat, acapkali dibumbui oleh vested interet. Miskin dari suatu keinginan merancang bangun ke arah mana Negara bangsa ini mau dibawa oleh pemimpin bangsa ini?
***
GUGUS perubahan dan pembaharuan kualitas politik, tidak menepiskan hubungan timbal balik antara credo (keyakinan) politik rakyat dan realitas yang tengah dilakoninya. Jadi, refleksi politik rakyat harus senantiasa kebermaknaannya “ditemukan” dengan kepentingan politik negara, atau fungsionalisasi kedaulatan rakyat, benar-benar memegang peranan penting untuk mendorong kematangan berpolitik.
Ketegangan-ketegangan politik dewasa ini, indikasinya tidak bisa dilepaskan dari adanya kalkulasi kepentingan kekuasaan dengan intrik-intrik politik di tingkat atas (elit). Gesekan kalkulasi koalisi yang sedang dirajut oleh mereka partai politik merupakan kenyataan serbaneka kepentingan. Interpretasi platform koalisi terus menjadi agendanya, sehingga tampak lupa terhadap siapa yang telah “membuat” mereka partai politik mendulang suara, yaitu rakyat.
Medan percaturan politik nasional ini, tampak terkesan semakin bias dari kepentingan rakyat Negara bangsa ini. Transparansi mengejar kedudukan semakin menonjol dan aliensi elit politik tidak menunjukkan pada usaha kedewasaan politik berbangsa dan bernegara, malah mempertontonkan kepentingan poliitk individu atau kelompoknya. Dengan perkataan lain, dominasi politik kekuasaan, tampak semakin diprioritaskan bagi kepentingan dan tujuannya. Sementara kepentingan rakyat banyak relatif sedikit tersentuh.
Seiring dengan kenyataan tersebut, kejumudan (kesumpekan) sosial politik, tengah menyelimuti kehidupan Negara bangsa ini. Peran sebagai mitra dialog yang egaliter antara lapisan elit politik itu, justru diselimuti atau tercucuki oleh vested interest yang menghantuinya.
Pertarungan untuk memperoleh kekuasaan, memang belum usai. Bahkan pertarungan tersebut justru dinamikanya dari hari ke hari ini, kian cukup tinggi dan menegangkan bagi mereka para elit politik, namun membingungkan bagi rakyat. Oleh karena diakui atau tidak berbarengan dengan kalkulasi politik yang bersifat pragmatis. Kepentingan-kepentingan kelompokn yang masih mendominasinya. Pertanyaannya, apakah Negara bangsa Indonesia ini menganut “kedaulatan kelompok”? sementara kedaulatan rakyat justru semakin terbelah dalam percaturan perpolitikan Indonesia. Atau rakyat ini sekadar menjadi penonton “pertengkaran” elit politik yang tak kunjung reda dalam merajut koalisinya? Sehingga secara substantif rakyat tersandara oleh hiruk pikuk politik yang ditontonkan para pencari kedudukan politik.
Etika bargaining mestinya tidak bisa mengabaikan keniscayaan membangkitkan komitmen kebangsaan Indonesia. Maksudnya, sensibilitas politik pasca pemilu pileg 9 April 2009, manuver-manuver politik untuk memperoleh kekuasaan dengan jalan koalisi lebih dititik beratkan pada bonnum commune (kepentingan bersama) dan menanggalkan egoisme politik. Persoalannya tidak hanya sebatas memperoleh atau mempertahankan kekuasaan, namun sensibilitas mengembalikan kehidupan politik negara bangsa yang baik bagi kehidupan rakyat. Dengan perkataan lain, rakyat selalu “dijualbelikan” dalam setiap momen pemilu, sedangkan kepentingannya masih terabaikan. Artinya, bagaimana menghindari kejenuhan rakyat melihat tingkah polah para elite politik yang mengurusi kepenitngannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar