Senin, 24 Agustus 2009

Relevansi Antara Filsafat Dengan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Oleh Silahudin

Pendahuluan

Dewasa ini, persoalan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sedang mengalami ujian dan berada pada masa-masa sulit. Krisis hampir dalam segenap aspek kehidupan. Akar dari semua persoalan sesungguhnya telah terjadi krisis kepercayaan dan kepemimpinan yang secara simultan berakibat pada terjadinya krisis kebangsaan dan kenegaraan. Pasca reformasi 1998, nilai-nilai kebangsaan Pancasila, sebagai dasar negara, ideologi negara, falsafah hidup, way of life bangsa Indonesia, jatidiri bangsa disembunyikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan kata lain, aspek-aspek lokalitas mulai dijauhi bahkan mungkin ditinggalkan untuk selanjutnya beralih pada setiap entitas yang bernafaskan global agar tidak dicap ketinggalan jaman. Sehingga akibatnya, kebanggaan dan komitmen sebagai bangsa semakin luntur.

Di sisi lain, ada kecenderungan untuk membangkitkan superioritas etnis. Klaim-klaim etnisitas dan paham sektarianisme mulai menyeruak muncul dan menenggelamkan identitas kebangsaan kita yang menempatkan pluralitas dan heterogenitas sebagai sebuah modal sosial. Persoalan disintegrasi bangsa akan semakin meruncing ketika terjadi krisis ideologi. Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa pun nampaknya mulai tercerabut dari sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Absennya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pertama dan terutama selama 11 tahun terakhir ini (sejak reformasi bergulir), tampaknya telah melululantahkan keputusan besar menyangkut ideologi negara yang dilahirkan Founding Fathers Negara bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi negara disadari atau tidak, termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti kapitalisme liberalisme atau ideologi global. Arus globalisasi tampak diyakini telah memberi andil besar menenggelamkan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, pandangan hidup, dan falsafah bangsa, yang penuh mengandung nilai-nilai kebangsaan.

Filsafat bangsa, yang sangat mungkin menjadi modal keunggulan bangsa, justru semakin ditinggalkan, atau dalam bahasa lain, ada semacam keengganan merujuk Pancasila sebagai arah yang dapat menuntun negara bangsa ini merealisasikan tujuan bernegara, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Sehingga disadari atau tidak, masyarakat mulai kehilangan identitas nasional. Dan yang kemudian terjadi adalah kebingungan masyarakat untuk menentukan pilihan gaya dan cara hidup. Padahal, bagaimanapun setiap bangsa dan negara mempunyai ukuran-ukurannya tersendiri yang menjadikan pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya. Ukuran-ukuran tersebut sudah barang tentu pertama-tama merujuk kepada ideologi suatu negara tersebut sebagai cita-cita berbangsa dan bernegara.

Sehingga, logis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia semakin terpuruk. Untuk dapat keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan, menemukan solusi yang memadai dan kompatibel terhadap problem kebangsaan, diperlukan langkah dan terobosan strategis yang bersifat lintas agama, ras, kelompok dan golongan; dengan mengutamakan spirit nasionalisme.

Di tengah peristiwa yang sedang menghantui pergulatan kehidupan kita sebagai bangsa dan negara, yaitu dideranya oleh berbagai persoalan, bahkan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai ancaman krisis energi, krisis pangan, bencana alam, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan hidup yang membahayakan kelangsungan hidup manusia, serta krisis ekonomi global, telah tampak pada pergaulan dan pergumulan kehidupan kita.

Pada titik simpul persoalan-persoalan tersebut di atas, sangat krusial, menyoal relevansi filsafat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa konseptualisasi filsafat? Apa kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagamana ujud relevansi antara filsafat dengan kehidupan berbangsa dan bernegara? Tulisan ini memncoba akan membicarakan seputar itu, oleh karena menyangkut persoalan paradigmatik yang mendasar dalam melihat proses berbangsa dan bernegara.

Konseptualisasi Filsafat
Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu kompleks seperti saat ini. Filsafat, sering disebut sebagai ratunya ilmu-ilmu. Sejak awal perkembangannya hingga sekarang tak pernah lepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia berada dan berkembang.

Di masa Yunani kuno, disebut sebagai langkah awal pembebasan akal manusia dari budaya mitis yang membelenggu potensi-potensi rasional manusia. Berkembangnya kesadaran baru bahwasanya akal manusia memiliki kekuatan yang luar biasa tajam untuk membedah segala persoalan. ”Kritis! Itu adalah kata kunci yang dipegang semua filosof sepanjang zaman”, jelas Donny Gahral Adian (2002: 1).

Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Menurut Jujun S. Suriasumantri (2001: 19) “Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semaunya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.”

Filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosopia”. Philein artinya “cinta” dan “sophia” artinya “kebijaksanaan”. Jadi, secara harifiah filsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam perkembangannya, filsafat memiliki brbagai macam pengertian, antara lain:
a. cinta kebijaksanaan.
b. Ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran dan kenyataan.
c. Hasil pikiran yang kritis dan dikemukakan dengan cara yang sistematis.
d. Hasil pikiran manusia yang paling dalam.
e. Pendalaman lebih lanjut dari ilmu pengetahuan.
f. Pandangan hidup.
g. Hasil analisa dari abstraksi.
h. Anggapan dasar.
i. Bersifat Kritis – Rasional, Kritis –Reflektif, Radikal, Tidak Fragmentaris, Universal.
j. Kritis, analitis, evaluatif dan abstraksif.

Filsafat merupakan suatu reflektisi yang merupakan kegiatan akal budi, perenungan….. yang direfleksikan filsafat adalah apa saja yang tidak terbatas pada bidang/tema terentu. (Achmad Charris Zubair; 1987: 7-8). Donny Gahral Adian (2002: 3) mendefinisikan filsafat sebagai “upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis, radikal, reflektif, dan integral.”

Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa berfilsafat sesungguhnya dimulai dari rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai dari ragu-ragu. Oleh karena itu karakteristik berfikir filsafat, seperti dijelaskan Donny Gahral Adian (2002:3) “Filsafat membedakan dirinya baik dari ilmu pengetahuan lewat pendekatannya yang integral dalam arti filsafat tidak mengkaji semesta dari satu sisi saja namun secara menyeluruh. Filsafat bersifat kritis dalam mengkaji objeknya, ia tidak pernah berhenti pada penampakkan, asumsi, dogmatisme melainkan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan demi mencapai hakikat. Radikal berasal dari akar kata “radix” yang berarti akar. Filsafat selalu menggunakan daya kritisnya untuk mengkaji suatu objek sampai ke akar-akarnya. Selain kritis-radikal, filsafat bersifat reflektif dalam memahami objeknya, ia selalu berusaha mengendapkan apa yang ia tangkap (gejala-gejala) untuk diolah dan pada akhirnya menghasilkan pengetahuan yang jernih.”

Seiring dengan pendapat di atas, Jujun S. Suriasumantri (2001: 20) menjelaskan karakteristik berfikir filsafat, adalah sebagai berikut:
a. Sifat menyeluruh.
Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. dia ingin tahu apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya. (Pendek kata, seorang ilmuwan tidak picik dalam memandang keilmuan; -- penjelasan penulis). Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak tahu apa-apa!.
b. Sifat mendasar.
Seorang yang berfikir filsafat selain menengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Jadi karakteristik berfikir filsafati adalah mendasar, fundamental atau radikal (sampai ke akar-akarnya). Dia tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriterias tsb dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus awal. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
c. Sifat spekulatif.
Ragukan bahwa langit dan bumi itu berlapis-lapis. Bahwa kita pun tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi sebagai ciri filsafat yang ketiga.
Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.

Philosopia atau filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang kuat atau yang bersungguh-sungguh, sedangkan kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu fungsi filsafat adalah:
a. mengajukan pertanyaan yang tidak diajukan dalam ilmu empirik.
b. Mengadakan revolusi di dalam persepsi.
c. Mencegah pemikiran rutin dan mengembalikannya kepada pemikiran reflektif
d. Mencegah pemikiran mekanistik dan mengembalikannya ke pemikiran aktif dan kreatif. (Rangkuman diskusi penelitian filsafat Yayasan Filsafat Indonesia, Jakarta 15 – 2 – 1985).
e. Berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui … Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu. (Jujun; 2001: 20).

Hal ini berarti orang yang berfilsafat adalah orang yang memiliki keinginan untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat akan dijadikan pegangan atau pedoman untuk mencari kebenaran. Dengan kata lain, filsafat adalah pandangan hidup dan landasan pemikiran yang bersumber pada kebijakan moral yang digunakan untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis sesuatu fenomena alam maupun sosial untuk memperoleh jawaban yang benar atas fenomena tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Berbangsa dan Bernegara
Proses bangsa yang menegara memberikan gambaran tentang bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok manusia yang berada di dalamnya merasa sebagai bagian dari bangsa. Negara merupakan organisasi yang mewadahi bangsa. Bangsa tersebut merasakan pentingnya keberadaan Negara, sehingga tumbuhlah kesadaran untuk mempertahankan tetap tegak dan utuhnya Negara melalui upaya bela Negara. Upaya ini dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta pola pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang berbudaya yang memotivasi keinginan untuk membela Negara: bangsa yang berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan penciptanya/”Tuhan” disebut Agama; bangsa yang mau berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi; bangsa yang mau berhubungan dengan lingkungan, sesama, dan alam sekitarnya disebut Sosial; bangsa yang mau hidup aman tentram dan sejahtera dalam Negara disebut Pertahanan dan Keamanan.

Pada zaman modern adanya Negara lazimnya dibenarkan oleh anggapan atau pandangan kemanusiaan. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 merumuskan bahwa adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga penjajahan yang bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan harus di hapuskan. Apabila “dalil” ini kita analisis secara teoritis, hidup berkelompok baik masyarakat, berbangsa maupun bernegara seharusnya tidak mencerminkan eksploitasi sesama manusia (penjajahan) melainkan harus berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Inilah teori pembenaran paling mendasar dari bangsa Indonesia tentang bernegara. Hal yang kedua yang memerlukan suatu analisis ialah bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Tetapi dalam penerapannya sering timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang saling bertentangan. Perbedaan konsep tentang Negara yang dilandasi oleh pemikiran ideologis adalah penyebab utamanya. Karena itu, kita perlu memahami filosofi ketatanegaraan tentang makna kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa dalam kaitannya dengan ideologinya. Namun di zaman modern, teori yang universal ini tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa yang menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian beranggapan bahwa untuk memperoleh pengakuan dari bangsa lain, suatu Negara memerlukan mekanisme yang lazim disebut proklamasi kemerdekaan.

Pertama, terjadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu proses yang tidak sekadar dimulai dari proklamasi. Perjuangan kemerdekaan pun mempunyai peran khusus dalam pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan.

Kedua, Proklamasi baru “mengantar bangsa Indonesia” sampai ke pintu gerbang kemerdekaan. Adanya proklamasi tidak berarti bahwa kita telah “selesai”bernegara.

Ketiga, Keadaan bernegara yang kita cita-citakan belum tercapai hanya dengan adanya pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus kita isi untuk menuju keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.

Keempat, terjadinya Negara adalah kehendak seluruh bangsa, bukan sekadar keinginan golongan yang kaya dan yang pandai atau golongan ekonomi lemah yang menentang golongan ekonomi kuat seperti dalam teori kelas.

Kelima, Religiositas yang tampak pada terjadinya Negara menunjukkan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Unsur kelima inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi pokok-pokok pikiran keempat yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa Indonesia bernegara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang (pelaksanaannya) didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.

Negara kebangsaan yang berbentuk kepulauan Indonesia terbentuk dengan karakteristik unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Yunani serta Negara-negara Eropa Barat lainnya, yang menjadi suatu negara bangsa (nation state) karena kesamaan bahasa. Atau Australia, dan juga negara-negara Asia Selatan lainnya, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Latar belakang historis dan kondisi sosiologis, antropologis dan geografis Indonesia yang unik dan spesifik seperti, bahasa, etnik, atau suku bangsa, ras dan kepulauan menjadi komponen pembentuk bangsa yang paling fundamental dan sangat berpengaruh terhadap realitas kebangsaan Indonesia saat ini.

Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas prakarsa dan usaha yang “berdarah-darah” dari founding fathers dan seluruh pejuang Indonesia, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara dan dibuang ke tempat pengasingan, serta gugur sebagai pahlawan bangsa, oleh pemerintah kolonial atau penjajah guna memantapkan rasa dan semangat kebangsaan Indonesia yang resminya lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 — sebelumnya diawali dengan terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, yang pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan bangsa kita yang beraneka ragam suku atau etnik, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu, Indonesia.

Keterkaitan nilai-nilai Pancasila itulah, maka Pancasila sebagai sebuah momen bangsa, bahkan jelas Kuntowijoyo (1994) ”sebagai puncak pemikiran tentang hati nurani yang terdalam, dan sekaligus suatu dokumen hidup yang secara terus menerus dapat dipakai sebagai referensi.”

Filsafat dan Problem Berbangsa dan Bernegara
Reformasi telah berlangsung sekitar 11 tahun. Perjalanan kehidupan negara dan bangsa masih saja jauh dari harapan. Dengan perkataan lain, perjalanan kehidupan negara bangsa ini, apakah telah tumbuh sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa (founding fathers)? Apakah kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai ukuran-ukuran implementatif untuk merajut hidup dan kehidupan yang beradab yang dioperasionalisasikan dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara ini?

Memang, bila menengok ke belakang, nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaannya berulang kali diselewengkan oleh rezim, karena proses politik yang kerapkali memanipulasi Pancasila hanya demi kekuasaan semata. Nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya hampir tidak bisa dielakkan oleh siapapun, karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan dalam tataran implementasinya justru sebaliknya. Dengan perkataan lain, makna tentang Pansasila untuk mengguide (membimbing) dan membantu kita dalam pemahaman bernegara dan berbangsa, acapkali direduksi oleh wilayah kepentingan tertentu. Dengan perkataan lain, Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar yang relevan dengan proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis, justru ditinggalkan.

Dalam konteks inilah atau untuk menciptakan SDM yang berkualitas dan handal maka salah satu yang diperlukan, yaitu suatu sistem dan produk pendidikan yang tidak saja berfungsi sebagai mekanisme kelembagaan pokok untuk mengembangkan keahlian dan pengetahuan, namun juga mengupayakan terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang mampu berpikir kritis, komprehensif dan integral dengan dilandasi oleh kepribadian yang mantap dalam menjunjung tinggi moralitas dan kearifan lokal yang ada, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan negara bangsa.

Artinya, bahwa setiap negara dan bangsa di manapun tentu memiliki filsafat hidupnya. Pancasila sebagai falsafah negara bangsa ini, dan ideologi merupakan suatu sistem nilai yang memberikan motivasi, tekad dan berjuang. Ideologi sesungguhnya merupakan kebulatan ajaran tentang kehidupan yang dicita-citakan (pandangan hidup) kenegaraan dan kemasyarakatan. Atau ideologi sebagai suatu gagasan yang berdasarkan suatu idea tertentu, yang menjadi pedoman perjuangan untuk mewujudkan idea tersebut. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang dimaksud ideologi adalah Pancasila sebagai pandangan hidup, jiwa dan kepribadian, dasar negara Indonesia. Pancasila menjadi pegangan dan pedoman bagaimana bangsa Indonesia memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang semakin majemuk.

Dengan demikian, ideologi memberikan dasar etika pelaksanaan kekuasaan politik, dapat mempersatukan rakyat suatu negara. Ideologi memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dengan yang dipimpin untuk berjuang bahu membahu demi prinsip kepentingan bersama. Ideologi juga memberikan pedoman untuk memilih kebijakan.

Para pendiri bangsa yang diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ideologi Pancasila bersumber pada cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang negara yang bersifat persatuan. Ideologi Pancasila sebagai suatu kesatuan tata nilai tentang gagasan-gagasan yang mendasar, yang didasarkan pada pandangan hidup bangsa, yang merupakan jawaban terhadap diperlukannya falsafah dasar negara Republik Indonesia.

Dalam kaitannya Pancasila sebagai falsafah bernegara dan berbangsa, telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 sebagai berikut: ”... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil beradab. Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Maksudnya, bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang plural dengan persamaan dalam perbedaan, menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam tatanan bernegara, tatanan dinamika gerak kenegaraan atau pemerintahan, tatanan hidup kehidupan beragama, tatanan hukum, tatanan pekerjaan yang layak dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tatanan kesejahteraan sosial atau perekonomian, tatanan pertahanan keamanan, tatanan pendidikan dan sebagainya, yang secara instruksionalnya tergambarkan dalam pasal-pasal konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengikat dalam penyelenggaraan bernegara.

Pancasila sebagai ideologi, sesungguhnya mengandung dimensi ideologi murni dan praktis. Kuntowijoyo (1994) menjelaskan bahwa: Ideologi murni lahir dari khazanah sejarah masa lampau, sedangkan ideologi praktis dapat diamati sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau latar belakang budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia telah menjadi dasar penyusunan sila-sila Pancasila, maka pengalaman sejarah dalam Revolusi Kemerdekaan, periode percobaan dengan demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin, dan periode pembangunan sekarang ini ( Orde Baru – penjelasan penulis) menjadi dasar bagi penyusunan ideologi praktis itu. Sebuah ideologi mengandung kedua unsur, murni dan praktis, yang masing-masing akan saling menunjuk. Jika ideologi murni itu kurang lebih permanen, maka ideologi praktis dapat saja berubah.

Bahkan lanjut Kuntowijoyo, selain itu, sebuah ideologi mempunyai unsur yang penting yaitu idealisme. Maka ketika kita berbicara Ideologi Pancasila sebagai hasil dari sebuah proses, sejarah merupakan satu-satunya pembenar terhadap ideologi. Ideologi juga dimaksudkan untuk mengubah sejarah, dalam arti bahwa ia mempunyai rujukan dalam aktualisasi, tetapi tidak semata-mata menyerah kepada perintah-perintah sejarah yang dipaksakan...... hubungan antara ideologi murni dengan realitas sejarah diwujudkan dalam ideologi praktisnya, yaitu bagaimana seharusnya realitas itu ditafsirkan dan diberikan jalan ke pemecahan persoalan-persoalannya. Pendekatan sebuah ideologi seperti Ideologi Pancasila bukanlah semata-mata sebuah praxis, tetapi juga sebuah nilai, cita-cita, harapan, bahkan sebuah impian yang ingin diwujudkan.

Dengan demikian, gagasan-gagasan dasar yang dikemukakan oleh ideologi Pancasila sebagai falsafah negara, sesungguhnya dapat ditelusuri di dalam Undang-Undang Dasar 1945, karena secara konstitusional itu telah menjadi pijakan bernegara dan berbangsa. Sebagaimana dijelaskan oleh PadmoWahjono (1993: 235) yaitu sebagai berikut:
• Mengenai bermasyarakat, yang kita jumpai nilai-nilai dasarnya di alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
• Mengenai bernegara, yang kita jumpai pada alinea II Pembukaan;
• Mengenai terjadinya negara, yang kita jumpai pengertiannya di dalam alinea III Pembukaan;
• Mengenai tujuan bernegara, pengertian kerakyatan atau demokrasi, dan kedaulatan rakyat atau kekuasaan tertinggi di dalam negara yang berada pada rakyat, kesemuanya dirumuskan di dalam alinea IV Pembukaan.

Jadi, setiap negara lahir dan berdiri, sesungguhnya karena didasari oleh suatu cita-cita dan tujuan yang ingin diraihnya dalam penyelenggaraan bernegara bagi kehidupan masyarakatnya. Cita-cita yang ingin diraih itu, diwujudkannya dalam ideologi negara tersebut sebagai pijakan arah perjuangannya. Tanpa memiliki cita-cita dan tujuan, tampak akan kehilangan arah dalam merealisasikannya. Itu sebabnya, setiap pemahaman atau konsep tentang negara bergantung pada pemahaman atau konsep yang tepat tentang tujuan-tujuan Negara. Persoalannya apa tujuan-tujuan lembaga yang disebut Negara? Jellinek membagi dua tujuan Negara, yaitu yang objektif dan subjektif. Objektif dibagi dalam objektif universal/umum dan objektif partikuler/khusus.

Tentang tujuan Negara yang objektif universal, jauh hari sudah dibicarakan sejak Plato. Aliran ini mendeskripsikan tujuan Negara adalah dirinya sendiri, Negara sendiri merupakan tujuan, karena Negara sebagai organisme. Tujuan Negara yang objektif partikuler, dipilih dan ditetapkan oleh Negara masing-masing berdasarkan perkembangan sejarahnya sendiri. Adapun tujuan Negara yang subyektif bahwa tujuan-tujuan Negara beraneka ragam berdasarkan pandangan masing-masing negara hingga kepada aspek-aspek dan sifat-sifat tujuan itu sendiri secara khusus individual.

Bagaimana tujuan Negara Indonesia sendiri? Tujuan Negara RI dapat disimak pada Pembukaan UUD 1945:
a. Alenia kedua, …Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
b. Untuk mencapai tujuannya itu, maka dibentuklah suatu Pemerintahan Negara yang mempunyai fungsi seperti nampak pada tujuan (menurut Jellinek adalah alat yang saling bertukaran dengan tujuan), yaitu:
• Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
• Memajukan kesejahteraan umum;
• Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
• Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tujuan Negara RI mempunyai tujuan bersifat objektif particular, namun dalam menyimak fungsi pemerintahan Negara RI, mempunyai tujuan universal. seperti ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran dan fungsi ideologi Pancasila terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia hendaknya dilihat Pancasila sebagai dasar/ideologi negara yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan jabarannya dalam pasal-pasal (termasuk yang telah diamandemen). Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi (UUD 1945) merupakan kebijakan umum nasional yang telah ditetapkan wakil-wakil rakyat di dalam sidangnya, dan kebijakan yang bersifat umum tersebut diperinci dalam bentuk perundang-undangan yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan DPR. Penentuan kebijakan umum Negara tersebut, berikutnya fase implementasi kebijakan tersebut.

Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional Negara Republik Indonesia, niscaya dapat terinternalisasi di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila tersebut yang tidak bersifat indoktrinasi, sehingga dapat membudaya di kalangan masyarakat. Bila itu dirumuskan dalam konseptualisasi kebijakan bernegara dan berbangsa, maka nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional dapat berkembang dan bertahan terhadap gempuran ideologi-ideologi lain. Ini berarti, penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia, dapat merumuskan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Namun dapat pula terjadi sebaliknya, bila memang nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional, hanya dijadikan sebagai alat politik kekuasaan pemegang kekuasaan, tentu saja ideologi Pancasila semakin terpinggirkan di bumi nusantara ini, dan terdesak, bahkan luntur oleh ideologi lain.

Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Nilai-nilai Pancasila secara objektif dan subjektif senantiasa terus dikembangkan, karena Pancasila sebagai falsafah dan ideologi harus tetap memberikan arah kehidupan berangsa dan bernegara seiring dengan perkembangan dinamika perubahan dunia dan harus terus menjadi ukuran implementasi dalam bernegara dan berbangsa.
2. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan lagi dengan adanya kesamaan cita-cita, pandangan, harapan, dan tujuan tentang masa depannya. Oleh karena itu, sebuah negara bangsa membutuhkan landasan filosofis, tanpa itu, berarti negara bangsa hidup tanpa pedoman.
3. Agar Pancasila sebagai falsafah dan ideologi hidup bangsa tetap mempunyai semangat untuk diperjuangkan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia, maka harus terus menggali dan mengkontekstualisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dengan konteks zaman kekinian. Oleh karena itu, Pancasila perlu disosialisasikan agar dipahami oleh dunia sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan, serta demokratis.
4. Terakhir, harus menjadi tugas bersama untuk mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju melalui upaya kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dari berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila harus selalu terbuka dan membuka dirinya untuk diinterpretasi tentunya dalam koridor keilmuan yang kritis dan ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju Khazanah
Pustaka Keilmuan, Jakarta.
Kuntowijoyo, 1994, Demokrasi & Budaya Birokrasi, Bentang Budaya, Yogyakarta
Rodee, Carlton Clymer, 1993, Pengantar Ilmu Politik, Rajawali Pers, Jakarta
Sukarna, 1981, Ideologi Suatu Studi Ilmu Politik, Alumni, Bandung.
Sumarsono, S. Drs. Dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Suseno, Franz Magnis, 1994, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S., 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
UUD 1945 Amandemen Keempat.
Zubair, Achmad Charis, 1987, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta
www.Indonesiastrategi.com tanggal akses 15 Juni 2009.

Senin, 10 Agustus 2009

Kesenjangan Persepsi Pembangunan Perkotaan

Oleh Silahudin

PEMBANGUNAN sesungguhnya merupakan never ending process (proses yang tak pernah berakhir), kendati Orde Baru telah gagal mempertahankan kesinambungan (sustainability) dalam pembangunan. Bahkan ada yang mengatakan perjalanan pembangunan selama tiga dasawarsa lebih berujung kepada "Dead-end" (akhir yang mematikan/mengalami jalan buntu), karena memang, Orde Baru menjadi monolitik dan otoriter secara politik, begiotupun ekonomi dikuasai segelintir pelaku bisnis, yang akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang menganga tak bisa dielakksan.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat, tampaknya telah menjadi "ideologisasi" rezim selama tiga dasawarsa lebih yang menuntut adanya penyeragaman dalam pembangunan, seperti misalnya desa di seluruh Indonesia diseragamkan (unifikasi) tata cara pengelolaan dan penamaannya. Padahal, kalau kita akui secara jujur, bahwa penyeragaman (unifikasi) menjadi tidak terpat, karena selain mengingkari falsafah bangsa: Bhinneka Tunggal Ika, juga mengingkari fakta sosialnya bahwa keunggulan tersebut ditentukan oleh kekayaan beragam (pluralistik) yang dimiliki oleh negeri ini.

Dari realitas penyeragaman tersebut, disdari atau tidak, stabilisasi dijadikan "tujuan" dan bukan "cara" oleh rezim selama itu dalam pembangunan, sehingga partisipasi masyarakat dikerangkeng atau ditekan, bahkan lebih ekstrim lagi dikorbankan semata-mata demi stabilitas, kendatipun stabilitas seperti penganjur pembangunan politik terpopuler Samuel Huntington, mengatakan bahwa stabilitas sebagai syarat pembangunan, khususnya ketika lembaga-lembaga politik belum siap. dalam arti lain, manakala partisipasi politik rakyat yang terlalu tinggi, sedangkan lembaga-lembaga politik belum siap (atau masih muda), maka diyakini tidak akan mampu menampung partisipasi tersebut, sehingga dibutuhkan stabilitas, namun kekeliruan fundamental adalah meletakkan militer sebagai kunci dari stabilitas.

Pemaksaan konsep pembangunan itulah, diakui atau tidak, penggusuran demi penggusuran baik tempat tinggal maupun tempat usaha kaum miskin, secara niscaya telah menjadi aktivitas ritual rezim selama itu, bahkan mungkin juga dewasa ini dalam mengejawantahkan makna pembangunan. Karena memang pembangunan selama ini (kerapkali) memperioritaskan penggemukan pendapatan nasional secara agregatif, sehingga pertumbuhan ekonomi dengan syarat stabilitas politik menjadi referensi perioritas dalam pengejaran target pembangunan tersebut. Sedangkan dimensi-dimensi lainnya seperti keadilan sosial (atau pemerataan), aspek manusianya dan muatan-muatan lokal yang dimiliki oleh negeri ini, tertinggalkan atau memang sengaja ditinggalkan.

Seiring dengan itu, pembangunan perkotaan sebagai konsep sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan stratifikasi ekonomi yang heterogen atau sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi ke luar, tata ruang perkotaan pun sebagai tempat pemukiman yang tetap dan memiliki "magnit" tertentu bagi penghuni-penghuninya termasuk penghuni-penghuni di luar kota untuk mengadakan kontak, baik itu dalam perdagangan maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Namun persoalan mendasarnya, apakah pembangunan perkotaan (dewasa ini) benar-benar menyentuh pada kepentingan umum (rakyat banyak) sebagai pusat pemerintahan (?) Dan bagaimana obyektivitasnya dengan sentuhan-sentuhan lokal atau kontektual alamiah demografinya (?).

Pada tataran inilah, obyektivitas pembangunan perkotaan secara niscaya patut dielaborasi, karena kota adalah merupakan tempat pemukiman secara aglomer (kumulatif), yang merupakan suatu wilayah dengan paling tidak ciri-ciri fisaik, pemukiman manusia, pusat pemerintahan dan perniagaan yang dalam hubungannya bersifat sekunder.

Reaksi Sosial
Paradigma pembangunan (kota) di Indonesia memang masih dihadapkan pada akumulasi pertumbuhan dalam bentuk fisik sebagai faktor determinan pendapatan pemerintah (dengan APBN/APBDnya). Atau, dalam bahasa Arief Budiman (2000), Di Indonesia kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.

Sehingga dari konstatasi konsep pembangunan tersebut, memang disadari atau tidak, pembangunan pun memunculkan reaksi-reaksi yang berkepanjangan dari masyarakat. Model pembangunan yang "ditancapkan" dalam negara Indonesia (khususnya pembangunan perkotaan) , tampaknya tidak lepas dari pendekatan keamanan untuk menyelenggarakan dan atau mewujudnyatakan pembangunan sebagai justifikasi bahwa pertumbuhan ekonomilah yang menjadi sasaran target capaiannya, sedangkan pemerataan atau pembangunan yang berwajah keadilan sosial terabaikan.

Strategi pembangunan dengan pedenkatan konvensional yang dikenal dengan konsep pertumbuhannya, nyata-nyata telah menjadi kiblat pembangunan selama ini. Pendekatan ini, cenderung mengutamakan pertumbuhan output sebagai ukuran keberhasilan. Dengan perkataan lain, pendekatan ini mampu mendobrak keterbelakangan dan mencapai tingkat kemajuan, dikarenakan masalah pembangunan acapkali diukur oleh keberhasilan pembangunan ekonomi yang bersifat agregatif. Namun demikian, keberhasilan pembangunan tersebut, tidak harus merasa puas, karena disadari atau tidak, usaha pembangunan dengan pendekatan tersebut, umumnya dan khususnya tiga dasawarsa lebih dalam negara Indonesia, justru memperlihatkan dan atau dihinggapi oleh penderitaan, kemiskinan dan jurang antara kaya dan miskin maih tetap lebar.

Itu sebabnya, berbagai alasan dikemukakan, kenapa pembangunan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, baik itu alasan yang bersifat ekonomi, sosial, ideologi bahkan historis. Dan pelajaran yang harus kita petik dari itu semua, tampaknya tidak berlebihan bila kita mengakuinya bahwa memang telah gagal pertama dan terutama dalam menangani persoalan kemiskinan (termasuk kemiskinan di perkotaan).

Dari kegagalan itu, merangsang orang untuk melacak dan menggali teori-teori "pembangunan" sebagai alternatif menjawab keniscayaan pembangunan yang membebaskan kemiskinan dan menyadarkan pada kepentingan semua dimensi, tidak hanya yang bersifat "matematis-ekonomi". Itu sebabnya, pendekatan pembangunan tidak diukur dari indikator ekonomi semata, melainkan mencakup semua aspek kehidupan. Dengan perkataan lain, paradigma pembangunan yang selama ini menghantui pikiran kita dengan konsepsi pertumbuhan ekonominya, misalnya paradigma ekonomi-moneter yang menjustifikasi tujuan pembangunan menjadi pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sehingga disadari atau tidak, ada pembenaran yang signifikan, yaitu "menghalalkan" adanya ketimpangan. Maksudnya, dengan adanya ketimpangan memberikan peluang yang berarti bagi kaum atau golongan atas untuk menciptakan productive base bagi pembangunan. Sedangkan pemerataan hanya sekedar lip service, bahkan menjadi momok bagi pembangunan.

Reaksi-reaksi sosial itulah, merupakan realitas yang tak bisa dibantah belakangan ini, bahkan gelombang dan tuntutan reformasi pun, secara niscaya merupakan antitesis dari realitas kehidupan yang selama ini "menghianati" persoalan-persoalan sosial budaya negara bangsanya dan sejenisnya. Kemiskinan khususnya di Indonesia bukanlah masalah individual, melainkan jelas-jelas sebab-akibat boboroknya tatanan sosial, ekonomi dan bahkan lebih ekstrim lagi akibat tirani elit-elit politik di negara ini.

Proses pembangunan, hingga kini pun, masih saja dimensi sosial budaya dan sejenisnya sebagai suplemen pembangunan ekonomi. Padahal, dimensi-dimensi tersebut merupakan dimensi fundamental pembangunan. Dalam perkataan lain, persoalan sosial budaya merupakan persoalan yang harus dipahami dalam tatanan yang intrinsik untuk mengejawantahkan pembangunan. Itu sebabnya, ia membutuhkan suatu "rekayasa sosial" dalam menjembatani perubahan-perubahannya, atau dapat merombak tatanan dan institusi-institusi sosial sehingga mampu menghasilkan suatu masyarakat yang mandiri, dan terbuka. Makna penting pembangunan secara niscaya harus menyentuh pada semua kepentingan. Artinya, dapat dikatakan bahwa pembangunan bidang sosial politik, sosial ekonomi, bahkan pertahanan dan keamanan dapat berhasil dengan baik apabila dilandasi terlebih dahulu pembangunan sosial budaya. Tidak hanya sekedar suplemen/pelengkap saja.

Memang, masalah sosial mempunyai efek reaksi berantai, karena hal ini biasanya akibat dari masalah sosial sebelumnya dan berinteraksi dengan faktor-faktor sebelumnya, kemudian tumbuh berkembang sebagai deret ukur. Sebagai contoh masalah kemiskinan, penggunaan narkoba, dan perkelahian antar pelajar termasuk kejahatan terhadap anak-anak.

Untuk itu, adanya perubahan sosial tidak bisa lepas dari adanya perubahan individu, atau perubahan individu merupakan bagian integral dari adanya perubahan sosial. Dengan begitu, perubahan sosial bagaimana pun, kita harus melihat dan menyimak dari adanya atau dimulainya perhatian dari perubahan individual dengan mengubah sikap individu. Contoh misalnya menempelkan stiker di bis-bis atau angkot dengan kalimat yang pendek: Kendalikan/kendarai mobil ini dengan enak, tidak seenaknya. Dalam contoh ini target kampanyenya adalah untuk mengubah sikap setiap individu masyarakat terhadap yang membawa/mengendarai mobil.

Reaksi-rekasi sosial itulah, merupakan suatu sikap nilai individu yang mempengaruhi perilaku kelompok, dan sosial kemasyarakatan, karena itulah yang pada pokoknya harus diperjuangkan ialah kemampuan untuk berkembang baik secara sosial, ekonomi maupun politis dalam semua tingkatan dan semua komponen masyarakat, sehingga memungkinkan bangsa bersangkutan (Indonesia) "survive" di tengah-tengah dunia yang tidak stabil dan makin tunduk pada persaingan. Itu sebabnya, peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, tidak hanya sekedar beradaptasi diri pada perubahan, akan tetapi secara niscaya harus mengarahkan perubahan tersebut agar sesuai dengan tujuannya untuk kepentingan semua (bonnum commune).

Kesenjangan Persepsi dan Krisis Orientasi
Pembangunan ada sangkut paut dengan perubahan. Dan hal ini jauh lebih mendasar ketimbang yang disangkakan semula, karenanya usaha pembangunan merupakan suatu upaya untuk menuju sasaran yang dinamis. Arus perubahan merupakan akibat dari proses pembangunan itu sendiri, pengaruh teknologi, pola pertumbuhan yang tidak merata, masuknya kebudayaan dan nilai-nilai asing. Juga, perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam scope nasional maupun internasional merupakan sarana-sarana pembangunan, seperti meliputi kepadatan penduduk yang makin besar, keasadaran politik yang makin meningkat, termasuk perubahan-perubahan gaya hidup dan lain sejenisnya.

Dalam pemaknaan pembangunan, memang adanya reaksi-reaksi baik reaksi yang "pendek"/spontan untuk mendesain perencanaannya karena memiliki hubungan yang erat dengan reaksi berikutnya (reaksi panjang/berantai). Reaksi pendek tersebut merupakan fundamen dasar dalam penataan perubahan sosial yang diarahkan atau diantarkan menuju reaksi berantai yang cukup memberikan harapan yang baik atas perubahan tersebut. Namun demikian, pembangunan yang diidealkan untuk kepentingan rakyat banyak atau disandarkan bagi kesejahteraan umum, pada realitasnya hanya menyuguhkan kepentingan-kepentingan untuk kelompok kecil saja. Dalam arti, bahwa model pembangunan apapun pendekatannya yang disandarkan pada semua lapisan masyarakat untuk dapat menikmatinya, justru dalam realitasnya masih banyak rakyat tidak dapat menikmati "kue" pembangunan. Persenyawaan teori modernitas dalam realitasnya, diakui atau tidak, menggiring monopolistik di atas kemajemukan (pluralistik) tingkatan ekonomi. Maksudnya, pengkavlingan tuntutan pragmatis pembangunan yang kian materialistik dengan aspirasi-aspirasi morlaitas pembangunan yang demokratis atau pembangunan yang berwajah keadilan sosial (pemerataan), senantiasa berhadap-hadapan (via a vis).

Memang, persoalan pembangunan erat kaitannya dengan moralitas, moralitas merupakan salah satu nilai masyarakat yang mengatur tingkah laku manusia. Itu sebabnya, apabila masyarakat memandang sesuatu sebagai masalah sosial, maka biasanya masyarakat akan memandang atau bahkan merasakannya bahwa sesuatu perlu diatasi. Berarti, persoalan pembangunan merupakan resultante dari berbagai aspek yang berada dalam masyarakat, yang satu sama lain saling memperkuat bahkan bisa juga saling menambah parahnya persoalan, ketika memang tidak ada kejelasan dan hanya sekedar mengejar bahwa wujud pembangunan tidak terkait dengan persoalan "ekologi daerah"nya.

Ketimpangan atau kesenjangan dari hasil pembangunan itu sendiri menyodorkan kesenjangan persepsi dan krisis orientasi pembangunan. Artinya, yang kaya semaklin kaya, dan yang tidak berdaya semakin tidak berdaya, padahal makna yang disodorkan oleh jargon pembangunan, baik secara subyektivitasnya maupun obyektivitasnya, secara niscaya tetap adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Dan secara dasariah, keniscayaan mengeliminir gejolak-gejolak dan kekerasan-kekerasan, nyata-nyata diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, namun fakta sosialnya, senantiasa kekerasan atau pembuldozeran oleh kpenetingan-kepentingan sistem kekuasaan dan konglomerat. Apakah itu soal buruh, tanah, bahkan kita mungkin masih ingat kasus Hendri Ali sang pemilik rumah dan pekarangan di wilayah Jabotabek. Sampai tiga kali dia pindah rumah karena terkena penggusuran, dan terakhir mempertahankan miliknya dengan membuat sebuah kemah. Kasus Kacapiring di Bandung, kasus Kedong Ombo yang dijadikan sebuah proyek Waduk di Jawa Tengah, kasus Nipahdi Jawa Timur, termasuk penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) nyaris di smeua kota, daerah resapan air di Babakan Siliwangi (baca: Kondommium), dirambahnya hutan konservasi menjadi pemukiman dan lain-lainnya. Tampaknya, menjadi kegiatan rutinitas aparat pemerintah yang menampakkan wajah kebrutalan penguasa melukai hati rakyat sendiri dan tidak melestarikan daerah-daerah yang semestinya bukan untuk pembangunan perumahan/pemukiman (seperti Villa) malah dirambah hanya mengejar pertimbangan kepentingan ekonomi an sich.

Adanya keresahan dan ketidakpuasan rakyat, pertama-tama dan terutama lapisan bawah, karena senantiasa menjadi tumbah pembangunan selama ini. Memang, sebagiamana dikemukakan Arief Budiman, bagi rakyat kecil, seringkali pembangunan memiliki arti lain. Saya teringat cerita yang dikisahkan oleh Bapak Selo Sumardjan. Dia pernah terdampar di sebuah kota kecil di luar Jakarta, dan sempat berbicara dengan seorang penduduk miskin di sana. Dia bertanya, dari mana orang itu datang. Jawab si penduduk: "Saya dulu tinggal di Jakarta. Tetapi, karena ada pembangunan, saya terpaksa mengungsi kemari". Bagi orang ini, dan bagi banyak orang kecil yang senasib dengannya, pembangunan merupakan sebuah malapetaka yang mendamparkan hidup mereka.

Polarisasi rakyat terhadap pemerintah di satu sisi, tampaknya merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa diabaikan, ketika persoalan pembangunan hanya menjadi model penderitaan bagi rakyat terutama lapisan bawah. Akibatnya, dari optik itulah, disorganisasi sosial mempunyai korelasi yang tidak kecil dengan kejahatan, manakala tata nilai moralitas pembangunan diabaikan. Juga, disorganisasi sosial menyebabkan orang bersikap acuh tak acuh, merasa dirinya tidak berdaya terhadap ancaman pihak yang lebih kuat, sehingga dari sini terjadi pengasingan manusia dari manusia yang lain. Sedangkan di satu sisi, dengan sistem kekuasaannya, pemerintah dengan mainsteam pembangunan diasumsikan dengan melanggar peraturan atau melakukan kejahatan sudah merupakan suatu hal yang dibanggakan atau terpuji dalam melakoni pembangunan. Artinya, kearifan pembangunan diabaikan, bahkan tidak peduli lagi melihat aspek-aspek alamnya dan sosial budayanya, mana untuk pembangunan (dalam arti fisik), dan mana saja untuk daerah-daerah perniagaan, pemukiman, dan daerah-daerah konservasi hutan dan lain-lainnya.

Political will pemerintah yang tidak berpijak pada kepentingan-kepentingan yang lebih luas, namun hanya pertimbangan pendapatan saja, mengakibatkan pergeseran makna pembangunan yang sesungguhnya. Artinya, bahwa pembangunan tidak hanya sekedar mengejar target-target pendapatan saja (baca: PAD), melainkan pembangunan tersebut, adalah memerlukan kepekaan terhadap semua lingkungan baik sosial budaya, politik, ekonomi dan lingkungan-lingkungan alam sebagai penyangga ekosistem. Pendek kata, sensibilitas memahami pembangunan terfungsionalisasikannya semua elemen-elemen pembangunan dan aspek-aspek yang mengitarinya.

Obyektivitas Pembangunan Perkotaan
Logika-logika di balik penggusuran demi pembangunan, tampaknya telah menjadi ideologi para penguasa. diskriminasi dan disparitas antara kaum kaya dan miskin telah menjadi pemaknsaan pembangunan selama ini. Sehingga kalau saja pembangunan tidak berhasil seperti dalam menangani persoalan banjir, kesemrawutan kota dan lain-lain, justru yang menjadi kambing hitamnya adalah mereka rakyat miskin dan pedagang di pasar inpres atau PKL.

Memang, sejumlah konsep pembangunan muncul untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pembangunan (perkotaan), sehingga terdapat dua kelompok besar pemikiran pembangunan yang satu sama lain memang tidak lepas dari benturan-benturan. Kelompok tersebut adalah kelompok strukturalis dan kelompok kulturalis. Kelompok kulturalis memandang bahwa pembangunan merupakan baghian yang tak bisa dielakkan dengan focus of interestnya adalah persoalan budaya, agar masyarakat dan pemerintah mampu merajut makna pembangunan yang memang benar-benar bersentuhan dengan kepentingan dan kesejahteraan umum. Sedangkan kaum strukturalis melihat bahwa kelemahan strukturallah mengakibatkan keterbelakangan terutama negara-negara berkembang. Dan tampaknya, kedua pendekatan tersebut satu sama lain mengedepankan egonya masing-masing, sehingga adanya dominasi-subordinasi dalam pengejawantahan pembangunan.

Idealitas pembangunan (perkotaan), tak hanya sekedar "bersih" dari lapisan masyarakat bawah dan pasar inpres, namun idealitasnya justru adanya keseimbangan ekologis dalam semua aspek kehidupan, baik itu ruang politik, ekonomi, sosial dan budaya, temrasuk lingkungan lam sekitarnya. Ruang publik sebagai perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan merupakan bagian integral untuk memperkukuh bahwa memang kota merupakaqn pusat pemerintahan, perniagaan, pemukiman dan tempat belajar. Itu sebabnya, terutama di era demokrasi ini, di satu sisi pemerintah harus transparan dalam merajut makna pembangunan untuk semua, dan di sisi lain, rakyat ikutserta terlibat sebagai manifestasi sense of bilonging pembangunan yang menyentuh pada kearifan pembangunan untuk smeua warganya.

Masalah-masalah pembangunan dengan rekasi pendek, memang dapat dikatakan relatif, namun dalam pemaknaan ini dimaksudkan bahwa masalah tersebnut cepat teratasi dengan dukungan fasilitas (sarana dan prasarananya) dan tidak menjalar atau "memvirusi" yang membentuk masalah-masalah sosial baru. Dan, apabila masalah sosial reaksi pendek tidak teratasi, bahkan sudah akut menjadi masalah sosial dengan reaksi berantai/panjang, disadari atau tidak menjadi akumulasi yang tak terbantahkan menjadi letupan persoalan sosial.

Dengan demikian, sebab-musabab krisis orientasi dan kesenjangan persepsi dalam pembangunan, karena memang adanya benturan kepentingan antar pemerintah dengan rakyat. Pihak pemerintah beranggapan bahwa dalam pembangunan (terutama dengan kota metropolitannya), tampaknya, penggusuran menjadi proyek yang diciptakan. Artinya, praktik penggusuran tanah, rumah kaum miskin mengisyaratkan bahwa pemerintah pun dalam memahami dan memaknai pembangunan acapkali dengan logika-logika yang menjadikan rakyat sebagai "tumbal" pembangunan.

Itu sebabnya, perkara pembangunan sebagai proses sosial yang direncanakan atau direkayasa, secara niscaya ditempatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat, dan pembangunan berkisar pada bagaimana mengubah masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya, sehingga persoalan pertumbuhan yang senantiasa menjadi perioritas utama yang mengakibatkan kesenjangan atau pemerataan tak tersentuh, maka kearifan pembangunan tidak hanya sekedar pertumbuhan melulu, melainkan menyentuh pada semua aspeknya, baik itu sosial budaya, politik, dan persoalan-persoalan tata ruang yang harus konsisten dipertahankan, bukan semata-mata kepentingan memenuhi kebuituhan kelompok tertentu (pebisnis misalnya), sehingga semata-mata pendapatan asli daerah (pertumbuhan), hutan konservasi dirambah menjadi permukiman, daerah resapan air dibangun menjadi apartemen.

Dengan demikian, pembanguna perkotaan, adalah merupakan permasalahan moral, karenanya nilai-nilai dalam pembangunan sangat erat hubungannya dengaqn struktur masyarakatnya. Artinya, perbedaan moralitas masyarakat dengan pemerintah tatkala bersentuhan memang tidak menutup kemungkinan adanya gesekan atau benturan nilai-nilai atas cara pandang mengenai pentingnya pembangunan. Namun, persoalan cara pandang itu, secara niscaya berakibat pada frustasi bahkan kalau hal seperti ini larut tidak menemukan jalan pemecahannya akan mengakibatkan adanya rasa asosial. Akibat rasa asosial itulah disorganisasi masyarakat/sosial dapat terjadi bila memang masing-masing tidak adanya kesepahaman untuk memecahkan persoalan lingkungan (pembangunan perkotaan) secara bersama-sama.

Catatan Penutup
Kondisi riil masyarakat, pemeirntah, dewan (DPR/D) terkotak-kota, sehingga obyektivitas pembangunan perkotaan menjadi sebuah keniscayaan dan perlu dielaborasi lebih lanjut. Namun demikian, pelembagaan dan pemasyarakatan secara terus menerus nilai-nilai pembangunan atau kearifan pembangunan tidak bisa lepas dari adanya kepedulian dan konsistensi terhadap muatan-muatan yang mengitarinya, seperti persoalan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan sejenisnya.

Dengan begitu, problematika pembangunan antara reaksi pendek dan reaksi berantai merupakan dwitunggal yang tak bisa dipisahkan. Satu sama lain bisa saling mengisi bisa juga menghambat, kalau saja perencanaan pembangunan tersebut bersifat parsial/sepihak. Itu sebabnya, pemaknaan pembangunan yang masih menjadikan dimensi-dimensi lainnya (seperti sosial budaya, politik, lingkungan alam) sebagai suplemen, tampaknya dewasa ini, secara niscaya patut memberikan keniscayaan pembangunan yang arif untuk menyentuh semua kepentingan sebagai fundamen dasar pembangunan. Karenanya, strategi perencanaan pembangunan yang menyejahterakan rakyat, sesungguhnya mempunyai makna yang pragmatis**

Daftar Pustaka
Budiamn, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dieter Evers, Han, 1985, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, LP3ES, Jakarta.
Gilbert, alan & Josef Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.
Nugroho D., Riant, 2003, Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Gramedia, Jakarta.
Sairin, Sjafri, 2002, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sujatmoko, Jujun S. Suriasumantri, Soejito Sosrodihardjo, dan Moeljanto Tjokrowinoto, 1987, Masalah Sosial Budfaya Thun 2000 (Sebuah Bunga Rampai), Tiara Wacana, Yogyakarta.
Zahnd, Markus, 1999, Perencanaan Kota Secara Terpadu: Teori Perencanaan Kota dan Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta.

(Tulisan ini dimuat pada Buletin Anggaran Bujet, Edisi 03/Th III/ April-Mei 2005)

Jumat, 07 Agustus 2009

Bila Politik Jahat, Lalu...

Zoon politicon, itulah kata filosof Aristoteles. Kita adalah makhluk politik. Kita tidak bisa lepas dari politik, kita ada di dalamnya.
Namun, seiring dengan perkembannya, politik dikatakan kotor; jahat; tidak punya muka, dan sejenisnya.
Ini gambaran setetes tentang "makhluk" yang bernama POLITIK.
Dalam catatan kecil ini, saya mengundang bapak/ibu/sdr/i untuk memberikan komentar atas pertanyaan di bawah ini.

BILA POLITIK JAHAT, LALU KENAPA BANYAK ORANG BERBONDONG-BONDONG TERLIBAT?

Terimakasih atas kesediaan dan partisipasinya.
Salam.